39 - Home Bitter Home

437 53 1
                                    

"Hi, uhm, Sheila. Your name's Sheila, right?" sapaku begitu masuk ke kelas dan berhadapan dengan seorang siswi SMA kelas 10. Remaja itu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaanku. 

"Nice to meet you, Sheila," kataku dengan senyum, berharap senyum ini tak jadi aneh di depannya karena aku sedang menahan mual.

Ya, aku sedang hamil sepuluh minggu. Aku sudah ke dokter kandungan dan dokter memberitahu bahwa aku hamil enam minggu sebulan lalu. Berita yang cukup mengejutkan dan agak membuatku kalut karena aku tidak menyangka akan hamil secepat ini. Kupikir, yah, aku akan hamil di usia 32 atau bahkan 35— persetan dengan usia ideal hamil karena aku pun menikah di atas usia ideal menikah. Setidaknya tidak dalam waktu dekat karena aku masih belum siap punya anak. Tapi, yah, aku memang bodoh. Sudah tahu belum siap kenapa tidak menunda dan malah asyik saja beraktivitas di malam hari setiap hari dengan Mas Ganjar. Meski sudah sebulan lewat, rasa terkejutku masih belum hilang hingga kini terutama karena kehamilanku di trimester pertama ini sungguh rewel bukan main. Mual dan muntah tidak terkendali. Aku bahkan tidak bisa makan nasi sama sekali. Aku hanya bisa makan buah dan roti. Hamil itu ternyata tidak enak. Aku jadi heran dengan para wanita yang ketagihan hamil. Apa yang mereka rindukan ketika hamil? Mual dan muntah ini? Tidak mungkin, kan?

"Nice to meet you too, Miss!" sapa Sheila balik. "Miss, are you okay?" tanyanya dengan kening mengernyit karena melihat gelagatku yang aneh. 

Aku menggeleng lalu memberi tanda dengan jari telunjukku. Aku meminta waktu sebentar untuk ke toilet. Ah, semoga Sheila paham dengan gestur yang kuberikan. Namun, aku tidak bisa menunggu Sheila untuk paham. Isi perutku sudah bergejolak minta dikeluarkan. Aku buru-buru ke toilet dengan langkah berderap. 

"Miss … kenapa?" tanya Sheila begitu melihatku kembali beberapa saat kemudian. 

"Morning sickness," jawabku sambil mengelap sudut mulutku. 

Ah, aku butuh teh hangat, batinku. 

"Morning— apa?" Sheila tak paham. 

"Sickness. Morning sickness," kataku melengkapi. 

"Semacam masuk angin?"

Sheila masih tak paham. Jelas saja. Usianya masih begitu belia untuk mengetahui apa itu morning sickness, kecuali kalau dia sudah pernah hamil di luar nikah— dan kuharap dia tidak pernah mengalaminya; hamil di luar nikah, maksudnya. 

"Oh, bukan. Itu "penyakit" ibu hamil terutama di trimester pertama," kelasku. 

"Ah …" Sheila mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi Miss lagi hamil?" tanyanya dengan bola mata membulat. 

Aku mengangguk. 

"Nice. Berapa bulan?" 

"Sepuluh minggu. Yah, kira-kira dua bulan lebih lah." 

"Congratulations, Miss." Sheila bertepuk tangan. 

Aku mengucapkan terima kasih. Sungguh lucu kalau diingat. Aku yang hamil saja tidak sebegitu senangnya tapi gadis yang bahkan baru kukenal hari ini sebegitu antusiasnya mendengar kabar kehamilanku. 

"Miss mau minum teh hangat? Biar aku beliin," tawar Sheila yang tentu saja kutanggapi dengan kebahagiaan tak terkira. Gadis ini seolah bisa membaca pikiranku. 

Dia pun segera melesat ke luar dan segera membawakan sebungkus teh hangat lengkap dengan sedotan beberapa menit kemudian. Ia memberikannya padaku dengan senyum cerahnya. Dalam hati aku berdoa, kalau anakku perempuan semoga anakku bisa sebaik hati dan secantik gadis di hadapanku ini.

"Thanks ya, Sheila," kataku setelah menerima teh hangat itu.

"Never mind, Miss. Katanya sih kalau mual, minum teh hangat jadi enakan. Yah, kalau pas aku masuk angin sih gitu tapi mungkin buat ibu hamil juga berfungsi sama," katanya lagi.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang