Kekosongan jabatan manajer sejak Pak Dino dinonaktifkan gara-gara membuat huru-hara akhirnya membuat Titi dengan sendirinya naik tahta menjadi pengganti Pak Dino. Aku sudah menduga— dan mendoakan— hal itu terjadi karena aku merasa yakin Titi pantas menyandang jabatan itu.
"Tuh, kan, bener apa kataku. Aku emang jago meramal," ucapku pada Titi dengan jemawa setelah dia menunjukkan pesan perihal pergantian jabatan itu.
"Tapi masa aku sih, Mir?" protes Titi.
"Miss Titi, dengan ini dinyatakan sebagai manajer baru di LPBIK Cabang Pekalongan terhitung sejak tanggal ... Nah, terus ini ada pemberitahuan juga SK menyusul." Aku membaca pesan di ponsel Titi itu untuk menegaskan bahwa keputusan dari pusat itu benar adanya. "Masa kamu masih nggak percaya?"
"Bukannya gitu. Aku juga udah baca berkali-kali tadi sebelum kamu baca lagi. Tapi masa aku sih?"
"Lha, terus siapa? Masa aku? Masa Miss Neina apa Miss Nike? Atau Mr. Tizar atau Mr. Ganjar?" cerocosku.
"Ya, kan, kirain aja dari pusat buka lowongan posisi manajer gitu."
Aku mendecak-decak. "Aduh, mendingan jangan deh. Aku udah trauma nanti dapetnya aneh-aneh lagi kayak sebelumnya kalau yang milih pusat. Udah ada Bu Yuni eh ada Pak Dino juga. Pusat itu nggak bisa nyium sesuatu yang fishy jadi udah bener kalau kali ini jabatan manajer diserahin ke kamu," tegasku.
"Kenapa nggak kamu aja gitu misalnya?"
Aku berjengit. "Nggak. Aku nggak punya cita-cita jadi atasan. Jadi atasan itu pusing. Kalau ada apa-apa yang disalahin pasti atasan. Ngurus diri sendiri aja pusing kok mau jadi atasan. Lagian aku nggak suka jadi atasan. Atasan 100.000 dapet 3 kalau di pasar soalnya—"
"Bawahan apalagi," sela Miss Nike yang tadi sedang asyik menulis di buku register. "Tiga malah cuma 15.000."
"Itu daleman bukan bawahan," sergahku.
"Bawahan yang ditaro di dalem. Sama aja!" tampik Miss Nike tidak mau kalah.
Sudah kubilang, kan, sebenarnya Miss Nike ini memang agak koplak tapi jiwa koplaknya terpaksa dipendam saat di bawah kepemimpinan Pak Dino yang suka sensi itu padahal dia selalu punya ide untuk menyela pembicaraan dengan celetukannya yang super aneh bin lucu.
"Kalian tuh ngomong apaan sih?" Titi tergelak.
"Nggak, nggak. Udah bener kamu jadi manajer, Ti. Iya, kan, Miss Nike?"
Miss Nike hanya menjawab dengan anggukan kepala karena saat itu dia sedang menerima telepon. Miss Nike memang cukup rajin. Jika aku sedang bersamanya aku tinggal duduk manis saja dan dia yang mengerjakan semuanya. Aku selalu membuatnya mengerjakan seluruh pekerjaan divisi pelayanan dengan alasan dia harus banyak belajar.
"Salah sambung," katanya kemudian seolah mengerti arti ekspresi wajahku dan Titi setelah dia meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya semula. "Nyari tukang AC malah teleponnya ke LPBIK." Miss Nike geleng-geleng kepala.
"Kenapa nggak sekalian kamu tawarin kursus, Miss? Siapa tau aja dia butuh?" tukasku.
"Lha, dia butuh tukang AC, Miss, bukan kursus makanya aku bilang salbung alias salah sambung," sahut Miss Nike polos yang membuatku tersenyum kecut sedangkan Titi tertawa.
Miss Nike mengernyit heran tapi dia tak menggubris ekspresiku dan Titi. Lalu katanya, "Eh, tapi soal Miss Titi jadi manajer aku setuju banget. Beneran. Suer. Miss Titi, kan, paling senior di antara kita semua dan yang paling tau soal LPBIK Cabang Pekalongan dibandingkan kita semua yang di sini jadi wajar dong akhirnya pusat juga minta Miss Titi jadi manajer. Lagian kalau nunggu ada pelamar posisi manajer dulu kayaknya kelamaan juga deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...