Lagu Marry Your Daughter-nya Brian McKnight mengalun lembut di gedung serbaguna milik kantor kelurahan tempatku mengadakan perhelatan, disusul oleh puluhan lagu romantis lain hasil dari mengancam operator sound system yang membuatku berhasil menyabotase perangkat suara itu dengan flash drive milikku karena aku muak mendengar suara musik dangdut menggema di penjuru ruangan.
Ya, akhirnya setelah tiga bulan melakukan persiapan pernikahan yang menguras emosi dan tenaga, kami- aku dan Mas Ganjar- akhirnya berhasil meresmikan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Setelah melewati perdebatan panjang kami akan menyewa MUA yang mana, rangkaian proses kreatif DIY undangan- ya, kami tidak memesan undangan dan malah justru membuatnya sendiri, memilah dan memilih tamu mana saja yang akan diundang, memilih katering yang mana, berapa dana yang akan dikeluarkan dan budgetnya, dan printilan-printilan dari yang remeh sampai yang maha penting akhirnya kami benar-benar bisa duduk berdua di pelaminan.
Mas Ganjar menebar senyum tegang di kursi pelaminan di sebelahku. Aku jadi bertanya-tanya apa yang menyebabkannya senyum tegang begitu? Apa dia sudah membayangkan malam pertama kami di siang bolong saat masih banyak orang begini?
"Kamu lagi mikirin apa sih, Mas?" tanyaku agak keras karena pengaruh volume suara dari pelantang yang membahana.
"Ng? Nggak mikirin apa-apa kok," katanya. "Emang aku keliatan lagi mikir?"
"Kirain lagi mikirin buat ntar malem," sahutku yang membuatnya mencubit lenganku gemas.
Kami masih melanjutkan sesi bersalaman-dengan-para-tamu yang entah kapan berakhir. Gigiku nyaris kering karena harus tersenyum pada orang-orang yang sebagian besarnya tak kukenal. Iya, seperti lazimnya pernikahan di Indonesia, pernikahan kami pun hanya berisikan tamu-tamu dari pihak orang tua yang membuatku mempertanyakan kembali esensi kami berdiri di kursi pelaminan sebagai mempelai.
Ini sebenarnya siapa yang nikah sih kok tamunya bukan tamuku semua? batinku sengit.
Aku sudah mengutarakan niatku pada orang tuaku untuk mengadakan akad nikah saja daripada menyelenggarakan resepsi tapi mereka menolak dengan alasan aku adalah anak terakhir sehingga sudah sepatutnya hari besar ini dirayakan. Lagipula mereka tidak ingin aku menikah karena dicap hamil duluan hanya karena menikah secara sederhana. Aku jadi heran kenapa zaman sekarang kesederhanaan justru dipandang sebelah mata sedangkan kemewahan justru jadi yang utama padahal seringkali tidak ada manfaatnya (Kalau dipikir-pikir sebenarnya lebih bermanfaat kalau uang untuk resepsi itu kuhabiskan untuk wisata romansa di Segitiga Bermuda lalu cinta kami abadi untuk selamanya, kan? Namun, nama kami berdua akan muncul di tajuk berita koran lokal Sepasang Pengantin Baru Menghilang Di Segitiga Bermuda Demi Membuat Cinta Mereka Abadi Selamanya).
Yah, hal itu tidak sepenuhnya salah orang tuaku juga sih. Kebetulan aku dan Mas Ganjar sama-sama tidak banyak memiliki teman dekat sehingga hanya segelintir orang yang bisa kami undang. Selain teman sekolah, kuliah, dan rekan kerja, aku bahkan tidak punya teman lagi. Apalagi teman sekolahku yang ada di Pekalongan hanya teman SMA karena aku dulu sekolah di Jawa Timur dari TK sampai SMP. Rekan kerja pun hanya dari Bank Nusantara dan LPBIK. Itu pun rekan-rekan kerja dari LPBIK sudah kujadikan penerima tamu seperti Miss Neina, Miss Nike, dan Miss Anna. Hanya Titi, Mr. Tizar, Bang Husni, dan Miss Emma yang benar-benar dijadikan tamu undangan. Ketika aku menyadari kenyataan ini, aku baru benar-benar merasa bahwa diriku menyedihkan. Berarti selama ini aku berteman dengan siapa? Kenapa aku sedikit sekali memiliki teman?
Beruntungnya kedua sahabatku semasa kuliah, Tita dan Silvi, bersedia datang ke pernikahanku. Mereka datang jauh-jauh dari Purwokerto dan Cikampek ke Pekalongan naik kereta. Tita malah lebih repot lagi karena membawa serta Faeyza, anaknya, yang masih balita. Untungnya dia memiliki kakak yang bekerja di Pekalongan sehingga bisa meminta bantuan kakaknya. Mereka berdua memang datang membawa misi khusus: mengantarkan piala pernikahan bergilir. Ya, sejak tahun 2011 kelasku membuat sebuah piala pernikahan yang diberikan secara bergilir kepada anggota kelas yang menikah- entah ini dulu dicetuskan oleh siapa. Piala itu nantinya ditulisi nama-nama pasangan yang sudah menikah beserta tanggal pernikahannya. Yah, secara tidak langsung piala ini membuat kami masih tetap bersilaturahmi dengan baik sampai sekarang.
Ada satu hal yang kuingat di malam sebelum resepsi pernikahanku dilaksanakan. Radit, mantan pacarku, tiba-tiba menghubungiku setelah sekian lama kami tidak saling kontak.
Radit Sasing 06 : Lagi apa, Mir?
Begitu tulisnya di WhatsApp.
Nggak lagi ngapa-ngapain, balasku. Tumben kamu chat lagi? Pipit kemana?
Dari pertanyaan isengku- karena sejak menikah Radit tidak pernah mengirimiku pesan karena tahu istrinya tidak suka denganku- mengalirlah cerita sendu dari cowok yang 2,5 tahun lamanya pernah jadi pacarku itu. Dia bercerita bahwa pernikahannya dengan Pipit sedang di ujung tanduk karena sang istri sudah menggugat cerai di pengadilan agama. Kalau pernikahan itu benar-benar berakhir maka pernikahan itu hanya bertahan empat tahun tanpa menghasilkan keturunan. Ketika kutanya apa masalahnya, Radit pun tidak tahu. Dia hanya mengatakan bahwa Pipit mendadak berubah sikap padanya. Aku pun hanya mengucapkan turut prihatin atas masalah itu. Aku tidak menanggapi apa-apa lagi karena aku memang tidak tahu bagaimana harus membantu seorang teman yang sedang mengalami keretakan rumah tangga. Lha, aku saja baru mau menikah bagaimana bisa memberi solusi tentang pernikahan? Tak lama kemudian, WA grupku berdenting.
Silvi Sasing 06 : Gue otw ke Pekalongan. Piala ada di lo, kan, @Tita Sasing 06? Jangan lupa dibawa yeee.
Seperti biasa, si biang heboh kelasku, Silvi, membuat kerusuhan di WA grup.
Tita Sasing 06 : Siap! Gue berangkat tar maleman. Pwt-Pkl deket ini lah.
Fara Sasing 06 : Selamat ya @Samira atas pernikahannya. Maaf nggak bisa dateng besok.
Dan bejibun ucapan selamat dari teman-teman yang lain pun berdatangan sehingga aku kewalahan membalasnya satu per satu. Kali ini justru Radit yang bingung ketika teman-temannya mengirimi ucapan selamat menikah padaku. Dia akhirnya mengirim pesan pribadi lagi padaku.
Radit Sasing 06 : Kamu mau nikah, Mir?
Aku baru membaca pesan itu dari notifikasi melayang di bar ponsel dan baru akan membalasnya saat pesan dari Radit kembali masuk.
Radit Sasing 06 : Astaga. Kamu beneran mau nikah ya? Maaf, aku nggak tau. Congrats ya, Mir!
Dia rupanya mengirim pesan itu sebagai balasan atas unggahan cerita yang kubagikan di profil WhatsApp-ku. Sebelumnya aku memang sempat mengunggah foto buket bunga yang ditempelkan di kepala ranjangku tanpa caption apa-apa. Namun, Radit terlambat menyadarinya ketika teman-teman yang lain sudah mengucapkan selamat.
Thanks, balasku.
Ketika aku menceritakannya pada Fanny, dia justru berkata bahwa mungkin saja Radit punya niat ingin mendekatiku lagi setelah proses perceraiannya selesai yang tentu saja kutepis meski itu besar kemungkinan terjadi andai aku belum menikah. Sejak bertumbuh dewasa, aku memang sudah mengurangi intensitasku mengunggah apa pun ke media sosial. Kedekatanku dengan Mas Ganjar dan persiapan pernikahanku pun hanya teman-teman dekatku saja yang tahu. Tidak ada secuil pun foto-foto kami yang kuunggah di media sosialku meski aku punya Instagram dan Facebook. Hal itu sangat berbanding terbalik ketika aku masih mahasiswa dulu yang menggambarkan Facebook sebagai public diary. Tidak heran kalau banyak yang tidak tahu, bahkan terkejut, mendengar berita pernikahanku.
Namun, ada satu kekecewaan terbesarku saat menikah. Aku gagal menyelenggarakan resepsi di Taman Wilis. Taman Wilis ini sebenarnya adalah sebuah taman kecil di dekat rumahku yang cukup apik kalau dijadikan sebagai tempat perhelatan resepsi. Sayangnya, setelah perjuangan kami meminta izin sana-sini untuk menyewa Taman Wilis, taman itu justru gagal disewa karena sedang dilakukan proses renovasi yang entah kapan selesainya.
"Padahal kalau kita jadi pake Taman Wilis, aku yakin abis ini bakal banyak yang sewa taman itu buat resepsi, Mas. Kita bakal jadi trend setter, Mas," kukuhku waktu itu.
"Ya, mau gimana lagi, Yang? Tamannya aja lagi direnovasi. Kita sampe datengin kontraktornya dan mereka bilang masih butuh sebulan lagi buat beres semua." Mas Ganjar mencoba menenangkanku yang sudah nyaris nangis guling-guling di depan rumah karena kesal.
Aku menghembuskan napas lega. Setidaknya meski pesta pernikahan ini bukan pesta pernikahan impianku, segalanya bisa terlaksana dengan lancar dan, yang paling penting, tidak menimbulkan utang. Selamat tinggal kehidupan melajang!
***
Sebenernya saya mau nulisin proses tunangan dan lamaran juga tapi kok kayaknya nggak penting. Cerita ini, kan, titik beratnya di problematika di tempat kursus bukan kisah romansa Samira jadinya saya singkat jadi satu bab aja. Hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...