"Di sini bisa tes TOEFL, kan, ya, Mbak?" tanya seorang bapak yang masih lengkap mengenakan seragam gradasi coklat khas instansi pemerintahan di bidang pelayanan dan keamanan masyarakat yang katanya ingin mendaftar ke garda internasional PBB.
"Di sini bisa tes TOEFL, kan, ya, Mbak?" Di lain hari, pertanyaan yang sama juga muncul dari segerombolan bapak dan ibu tenaga kesehatan yang katanya ingin mendaftar sebagai tenaga medis untuk pemberangkatan haji.
"Di sini bisa tes TOEFL, kan, ya, Mbak?" Masih dengan pertanyaan yang sama, tiga orang dari sebuah perusahaan asuransi milik pemerintah yang katanya ingin mendaftar untuk lanjut studi cuma-cuma ke luar negeri rela mendatangi kantor LPBIK di malam hari kala hujan sedang deras-derasnya di hari berikutnya.
"Bisa." Semua pertanyaan itu kujawab dengan sangat yakin.
"Biayanya berapa?" tanya mereka semua.
Aku menyebutkan harganya.
"Wah, lumayan mahal juga ya," keluh seorang ibu-ibu nakes dari rumah sakit daerah di dekat kantor LPBIK.
"Itu buat sekali tes aja, Mbak?" Bapak polisi yang datang bertanya penasaran.
"Betul. Itu untuk sekali pendaftaran dan sekali tes saja," jawabku.
"Kalau ini apa?" Seorang pegawai perusahaan asuransi milik pemerintah, seorang perempuan, menunjuk pada tulisan di brosur.
"Oh, itu TOEFL Preparation. Semacam kursus bahasa Inggris tapi khusus untuk menghadapi tes TOEFL. Jadi isinya cuma latihan soal-soal TOEFL aja," jelasku.
Si mbak mengangguk lalu kudengar dia berbisik ke temannya, "Mahal juga ya tapi kita sebenernya butuh ini nih. Kita, kan, nggak ngerti TOEFL sama sekali."
Temannya yang tadi dibisiki itu lantas bertanya, "Kalau kursus TOEFL ini berapa lama ya, Mbak?"
"Oh, kalau untuk kursus TOEFL ada dua macam; ada yang 24, ada juga yang 16 pertemuan. Keduanya sama-sama kelas privat bisa juga privat grup jadi jadwal belajarnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan siswa ajar. Tapi kami batasi maksimal pertemuan setiap minggunya hanya tiga kali karena jadwal pengajar juga padat. Kalau kelas biasa, kan, cuma dua kali seminggu," jelasku panjang lebar.
"Skor tertinggi tes TOEFL berapa sih, Mbak?" tanya seorang bapak nakes.
"Kalau untuk PBT atau Paper Based Test yang kami gunakan itu 667, Pak, tapi saya kurang tahu untuk tes yang lain karena tes TOEFL banyak macamnya."
"Waduh, kalau untuk kami yang sudah sepuh ini dapet nilai segitu bisa nggak ya, Mbak?"
"Kalau yang nggak pernah ikut tes TOEFL gitu emangnya bisa, Mbak, dapet skor gede?" Pertanyaan ini datang dari para pegawai asuransi.
"Waduh, otak saya udah susah buat mikir begituan, Mbak. Udah lama banget nggak berhubungan sama bahasa Inggris lagi wong udah lama nggak sekolah." Yang ini dari si bapak polisi.
"Dilihat saja syarat minimal skor TOEFL-nya berapa. Fokus saja sama nilai minimalnya," saranku.
"Lho, syarat minimalnya aja 500 kok, Mbak," begitu pekik mereka, mengira aku tidak tahu syarat umum untuk skor TOEFL.
"Kalau begitu usahakan bagaimana caranya dapat nilai 500 itu," kataku santai.
Mereka langsung gaduh. Mereka menganggap bahwa nilai minimal segitu saja sudah berat untuk mereka yang mengaku sudah sepuh lah, tidak pernah ikut tes TOEFL lah, dan sudah lupa dengan pelajaran bahasa Inggris. Sudah bisa ditebak, mereka akhirnya bernegosiasi soal nilai demi bisa mencapai nilai minimal yang disyaratkan. Tapi aku bukan tipe orang yang mudah bernegosiasi soal nilai karena itu menyalahi aturan nuraniku (yah, sok suci dikit lah).
"Gimana, Mbak? Kalau nggak dibantu kita nggak jadi daftar lho. Nanti kita pindah ke tempat lain aja," ancam mereka yang membuatku kelabakan.
Waduh, kalau mereka semua batal mendaftar LPBIK akan kehilangan pendapatan yang lumayan mengingat jumlah peminat tes TOEFL setiap hari bisa mencapai sepuluh orang. Target divisiku juga bisa berkurang nanti.
"Gimana dong, Ti?" Aku berdiskusi dengan Titi sebagai pemegang keputusan tertinggi di LPBIK. Lagipula dia biasanya punya solusi akan semua permasalahan pelayanan.
Titi terdiam. Aku juga terdiam. Kami sibuk berpikir untuk mencari solusi.
"Belum usaha kok sudah nyerah duluan?" Aku bersungut-sungut di depan Titi, membuang kebingungan di sela-sela waktu berpikir kami.
"Yah, kalau bisa lebih gampang dapet skor dengan cara begitu kenapa mesti repot ngerjain tes, kan, Mir?" sahut Titi.
"Iya sih."
"Terus enaknya gimana ya?" Titi menggigit bibir bawahnya. Aku mulai panik.
"Aku nggak mau bantu mereka dengan mark up nilai," tegasku.
Titi mendesah.
"Dulu pas jamannya Pak Agung sering ada kejadian gini sih, Mir, jadinya orang-orang mungkin udah paham kalau LPBIK bisa dilobi soal nilai," ungkap Titi yang menyebutkan kejadian ketika LPBIK masih dipegang oleh pemimpin pertama.
"Kita yang cuma bawahan ya akhirnya nurut aja. Tau nggak, yang ngoreksi tes TOEFL tuh Pak Agung sendiri lho dulu. Mungkin ya nilai peserta tes di-mark up sendiri sama dia."
"Nah, kan, akhirnya yang jelek nama LPBIK juga kalau gitu. Bisa nggak kredibel lho nanti nama kita," omelku entah pada siapa karena biang keroknya sudah lengser bahkan jauh sebelum aku bergabung di LPBIK.
"Itu dia masalahnya. Aku pernah kelabakan gara-gara ini. Semua orang yang tes TOEFL pasti minta dibantuin karena mereka bilang udah dijanjiin nilai tinggi sama Pak Agung. Mereka bahkan rela bayar lebih. Padahal duit lebihnya yang ngantongin ya Pak Agung sendiri," keluh Titi mengenang masa-masa pilu saat dia baru bergabung di LPBIK.
"Aku cuma kebagian nyetak sertifikat doang. Tapi nggak papa sih berarti, kan, nggak ikutan dosa ya. Iya nggak?"
Aku mengangguk.
"Nah, makanya kita harus ubah yang kayak gini, Ti!" kataku menggebu-gebu.
"Tapi kalau mau murni beneran emang rada susah, Mir, karena pasti nggak laku."
"Terus kamu mau ikutan caranya Pak Agung lagi?"
"Nah, gini aja deh." Titi menjentikkan jari. "Kita nggak perlu mark up nilai ataupun ngasih kunci jawaban tapi harga segitu sudah termasuk dengan remidi satu kali. Terus kita juga bakal kasih tau section mana aja yang perlu diulang. Gimana? Dosa nggak ya?" Titi mengemukakan pendapatnya.
Aku langsung tersenyum semringah.
"Kayaknya nggak deh, kan, nilai yang mereka dapet emang jujur," dukungku.
"Kalau gitu bilang sama mereka, Mir."
Aku mengangguk lalu bergegas ke ruang resepsionis kembali dan memberitahukan kebijakan LPBIK pada para calon peserta tes TOEFL. Sesaat mereka tampak kecewa tapi mereka tetap bisa menerima kebijakan itu. Akhirnya mereka semua bahkan mendaftar tes TOEFL tanpa kecuali. Aku bernapas lega. Titi pula. Miss Rayya juga, karena dia sempat kebingungan ketika menghadapi para customer yang banyak mau begini sehingga aku harus turun tangan. Kami semua lega karena akhirnya kami mendapatkan win win solution.
"Yah, meski sebenarnya ini tetap menyalahi kebijakan LPBIK pusat sih. Harga itu, kan, cuma buat sekali tes aja. Kalau remidi ya berarti harus bayar lagi," kata Titi.
"Nggak papa lah, Ti, daripada kalau kita saklek begitu nanti kita nggak dapet customer lagi. Siapa juga yang mau bayar gopek setiap kali tes? Ogah juga kali. Lagian tes beginian nggak penting-penting amat, kan, toh mereka udah punya kerjaan tetap. Ikut tes itu cuma buat coba-coba doang," sahutku.
Beruntung, setelah mereka menjalani tes, mereka semua mendapatkan nilai yang memuaskan meski tanpa remidi. Meski nilai memuaskan itu dalam artian hanya nilai minimal syarat saja tapi mereka semua puas. Sebenarnya kita semua memiliki kemampuan. Tinggal kita saja yang mau berjuang atau tidak untuk menggapai tujuan kita. Kalau sudah menyerah sebelum memulai bagaimana kita bisa tahu hasilnya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...