40 - A Bird In A Cage

389 50 2
                                    

Namanya Nik. Arseniko Kawa. Pertama kali mengetahui namanya dari formulir pendaftaran aku ingin tertawa. Kenapa orang tuanya harus memberi nama seperti itu sih? Kenapa namanya mengandung unsur kimia beracun? Kenapa dari 118 unsur kimia dalam tabel periodik kedua orang tuanya justru memilih arsenik sebagai salah satu unsur dalam nama anak mereka? Kenapa bukannya Nickel kalau ingin penghasilan panggilan Nik? Kenapa bukan Ferre dari Ferrum atau Argon atau Cobalt atau Argentum atau unsur kimia lain yang terdengar lebih macho dan tidak terkesan berbahaya daripada arsenik? Entah doa apa yang terselip dalam nama itu, aku juga sedikit penasaran.

Aku jelas tidak akan memakai nama ini sebagai nama anakku kelak meski nama ini unik karena aku punya tiga alasan. Alasan pertama, jelas karena nama ini cenderung aneh dan berpotensi jadi bahan celaan ketika si anak sudah sekolah kelak. Alasan kedua karena nama ini lebih cocok untuk anak lelaki sementara hasil USG mengatakan bahwa calon bayiku berjenis kelamin perempuan (kejutaaaann!). Alasan ketiga karena jelas Mas Ganjar tidak akan setuju dengan nama aneh yang tidak punya makna bagus menurutnya. Yah, jadi CS LPBIK memberiku banyak kesempatan untuk mencari nama bagus untuk calon anakku kelak meski sejauh ini belum ada yang cocok sih.

"Oh, saya juga nggak tahu arti Arseniko, Miss. Papa mama saya hakim dan notaris PPAT dan nggak ada hubungannya sama hal-hal berbau kimia. Tapi kalau Kawa diambil dari Kawanua yang artinya penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau Mina-Esa alias orang Minahasa yang diambil dari bahasa Melayu Tua. Kebetulan kedua orang tua saya berasal dari Minahasa, suku terbesar di Sulawesi Utara," terang Nik ketika kutanya soal arti namanya di kelas perdana kami.

Aku terheran-heran ketika mengetahui ternyata nama arsenik itu justru tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang digeluti kedua orang tua Nik. Mungkin papa mama Nik hanyalah orang-orang yang senang memakai nama unik untuk anak mereka.

"Orang jauh berarti ya? Saya pikir kamu asli orang sini-sini aja."

Nik hanya tersenyum kecil.

"Oh iya, kamu udah kelas 12, kan, ya?" Nik mengangguk. "Sudah tahu mau daftar kemana buat kuliah nanti?" tanyaku yang langsung membuat air muka Nik berubah.

"Nik?" tegurku lagi karena Nik tidak kunjung merespon.

"Oh, uhm, sudah, Miss. Ke Undip."

"Wow. Jurusan?"

"Hukum," lirihnya.

Aku manggut-manggut. "Bagus, bagus. Apa pun itu semangat ya. Semoga berhasil."

Nik mengangguk sambil tersenyum kecil.

Nik bukan tipe siswa ajar yang cemerlang tapi juga bukan tipe siswa ajar yang kurang pandai. Dia mudah menyerap materi di kelas tapi masih canggung ketika kusuruh menjawab dalam bahasa Inggris. Dia juga bukan tipe siswa ajar yang mudah akrab dengan orang lain maupun pengajarnya (atau aku dalam hal ini). Setiap kali aku mengajarnya, aku merasa ia seolah punya tembok tinggi yang tak terlihat yang memisahkan kami berdua dalam ruangan. Nik selalu hanya bicara seperlunya. Oleh sebab itu, aku tidak menyangka saat dia akhirnya membuka diri padaku di bulan kedua ketika kelas nyaris selesai (kelas selesai di bulan ketiga).

"Miss Sam dulu waktu kuliah ambil jurusan apa? Bahasa Inggris ya?" tanyanya.

"Sastra Inggris," ralatku.

Nik mengangguk. "Miss emang suka sama jurusan itu?" tanyanya lagi bak sedang bertindak sebagai HRD dalam sesi wawancara kerja.

"Suka. Suka banget malah. Sebenernya dulu Miss bercita-cita pengen jadi pramugari eh ternyata kok gigi gingsul dan nggak rata, mata minus, nggak tinggi, nggak cantik, dan nggak tahu diri. Udah tahu jelek cita-cita pengen jadi pramugari. Akhirnya banting setir deh kuliah di jurusan Sastra Inggris. Yah, nyerempet-nyerempet dikit lah. Pramugari, kan, harus pinter bahasa Inggris tapi berhubung Miss gagal jadi pramugari ya ambil bahasa Inggrisnya aja," celotehku.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang