21 - Horror Story: I See What You Can't See

615 81 4
                                    

"Aku tau ada sesuatu yang nggak beres, Miss," cerita pembuka Miss Emma waktu itu.

Miss Emma sempat menjeda ceritanya karena harus mengajar lebih dulu padahal aku sudah kepalang penasaran. Untungnya, dia masih bersedia melanjutkan ceritanya selepas mengajar meski dia ingin pulang.

"Muridku itu cuma diem aja selama di kelas. Itu, kan, pertemuan pertama jadi aku nggak tau gimana sifatnya. Aku pikir karena emang dia pendiem, kan, tapi aku ngerasa aneh karena suatu hari pas aku perhatiin lagi dia kayak gemetar ketakutan. Herannya, dia begitu cuma pas di kelas belakang aja. Kalo pas dapet kelas depan nggak papa."

"E-emangnya ketakutan kenapa, Miss?" tanyaku sambil mengusap bagian tengkuk karena tiba-tiba suasana jadi agak mencekam. Hawa di sekitarku juga jadi semakin dingin.

"Ini di ruangan kecil begini nyetel AC sampe 16° gini nggak pada merinding apa? Bukannya kamu alergi dingin, Mir?" tegur Titi yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang staf dan membuatku sedikit terlonjak karena kaget.

Namun, gara-gara ucapan Titi itu aku jadi menyadari sesuatu. Pantas saja aku kedinginan. Ternyata itu bukan efek cerita horor Miss Emma lalu kedatangan makhluk tak kasatmata tapi karena AC disetel ke suhu terendah yang melebihi batas yang bisa ditolerir oleh tubuhku yang alergi dingin.

"Lagi cerita apa sih?" tanya Titi kepo setelah dia menaikkan suhu AC menjadi 20° lalu duduk bersamaku dan Miss Emma di ruang staf.

"Yang itu lho, Miss Titi, muridku yang punya sixth sense itu–"

"Nazira ya?"

"Nah, iya bener. Nazira. Miss Titi masih inget aja namanya."

"Masih dong. Dia suka cerita-cerita gitu kalo pas ketemu aku di ruang resepsionis."

"Terus, terus?" Aku memotong obrolan Miss Emma dan Titi karena tidak sabar menunggu lanjutannya.

"Oh, iya. Hampir lupa cerita." Miss Emma menepuk dahinya. "Jadi Nazira ini kelas 2 SMA waktu itu, Miss Sam. Karena kejadiannya udah lama jadi mungkin dia udah kuliah entah semester berapa. Bahasa Inggrisnya udah pinter banget emang. Nah, suatu hari Nazira itu duduk di pojokan di kelas belakang yang ngadep kebun belakang itu lho, Miss."

"Oh, yang tinggal lurus aja dari koridor ya?" tanyaku yang diiyakan oleh Miss Emma.

"Nah, pas aku suruh maju dia diem doang. Aku panggil berulang kali dia juga tetep diem. Temen di sebelahnya sampe harus nepuk pundaknya dulu buat manggil dia tapi Nazira tetep aja nggak ada respon–"

"Jangan-jangan dia kesurupan ya, Miss?" tebakku.

Miss Emma menggeleng. "Nggak, Miss. Dia nggak kesurupan. Tapi dia bilang 'I can see something that you can't see and it's watching me, watching us'. Gimana nggak ngeri coba?"

Aku memajukan badan, tertarik. "Terus, terus?"

"Dia masih nyerocos nggak jelas gitu, persis kayak orang kesurupan tapi nggak. Dia bilang lagi 'it's sitting in the corner, right there' dan sialnya dia nunjuk ke pojokan yang deket sama tempat aku berdiri waktu itu, Miss. Aduh, pokoknya waktu itu sekelas chaos deh, Miss," cerita Miss Emma lagi.

"Dia bilang lagi 'It's a woman. I think she's about 20s. She's wearing white dress full of blood. There's a scar on her neck that keeps bleeding, possibly it was an incision wound. She might be beheaded or something'. Aku makin merinding denger penjelasannya."

Aku sempat menahan napas karena ikut tegang.

"Kalo nggak salah emang dulu pernah ada kejadian pembunuhan di sini. Tapi itu udah tahun berapa deh, nggak tau. Mungkin jaman Belanda kali. LPBIK, kan, dulunya tempat jagal sapi juga. Mungkin ada yang manfaatin tempat jagal sapi buat jagal orang kali." Titi memberi informasi yang membuatku tercengang.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang