PENOLAKAN BUKAN AKHIR SEGALANYA

143 32 7
                                    

PERHATIAN, BAB INI MENGANDUNG CURHAT ⚠

Apa kabar, Temans. Masihkah kalian belajar / kuliah / kerja di rumah? Teman-teman saya satu persatu bertumbangan terkena Covid-19. Kamu sendiri gimana? Masih sehat kah?

Bicara mengenai pandemi, saya sedih sekaligus bersyukur. Sedih karena angka pasien yang terjangkit semakin bertambah. Banyak di antara mereka tidak kebagian ruang perawatan. Tenaga medis satu persatu berguguran akibat tertular.

Lalu, apa yang membuat saya bersyukur? Saya bersyukur dulu tidak diterima di Fakultas Kedokteran.

Kenapa begitu?

Sejak kecil saya bercita-cita menjadi seorang dokter karena kelihatannya keren, pakai jas putih, dan mendapat tempat terhormat di masyarakat.

Tapi pas SMA saya gagal masuk jurusan IPA sehingga otomatis saya nggak bisa masuk FK. Saya nggak tahu apa sebabnya nilai pelajaran IPA bisa jelek padahal saat SD dan SMP, nilai saya baik-baik saja. Saya sempat sedih karena teman saya yang kayaknya nggak pintar saat SMA bisa masuk IPA bahkan tembus FK pada universitas ternama.

Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan jawabannya. Saya menyadari Tuhan begitu menyayangi saya. Tidak terbayang bagaimana jika saya jadi dokter. Bisa saja saya ditugaskan di RS rujukan Covid-19 seperti teman saya. Dia cerita harus pakai APD yang bikin tersiksa setengah mati. Belum lagi dia ketar-ketir kalau pulang.

Ada lagi kisah dokter yang nggak bisa pulang berbulan-bulan lantaran harus mengurus pasien Covid-19. Dia nggak berani juga pulang seandainya diperbolehkan karena takut menularkan virus yang sangat mungkin dia bawa pada keluarga di rumah.

Syukurlah pekerjaan saya yang sekarang sangat bisa dikerjakan dari rumah. Kalau pun ketemu orang, saya atur jarak, nggak perlu berdekatan seperti dokter.

Intinya saya sangat bersyukur Tuhan tidak merestui saya menjadi dokter.

Lalu apa hubungannya dengan menulis?

Temans, lihatlah ini

Yang terpampang di sana adalah nominal rupiah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang terpampang di sana adalah nominal rupiah. Contohnya Tania Noer mendapatkan Rp. 52 juta dalam waktu sebulan hanya dari menulis.

Sependek pengetahuan saya, Tania Noer bukan penulis mayor. Mungkin pernah memasukkan karya ke penerbit mayor dan ditolak. Who knows? Tetapi apakah dia menyerah dan berhenti menulis?

Tidak kawan, sekali lagi tidak.

Mungkin bagi banyak orang, menerbitkan karya di penerbit mayor adalah sebuah prestasi bergengsi. Tapi tahukah kamu dengan royalty sedemikian kecil (hanya 10%) kamu harus menjual minimal 500 eksemplar sebulan agar bisa mendapatkan penghasilan setara upah minimum provinsi DKI Jakarta tahun 2021?

Dan menjual 500 eksemplar buku tidaklah semudah menjual 500 potong tempe goreng. Trust me.

Kalau kamu bukan Penulis terkenal, menjual 20 eksemplar pun setengah mati. Kalau tidak percaya, terbitkan saja karyamu secara self published. Promosi besar-besaran. Kalau kamu adalah orang yang tidak terkenal atau introvert atau sulit bergaul atau tidak punya teman, maka menjual 20 eksemplar adalah sebuah kerja keras.

Tetapi apakah jika karyamu tidak diterima oleh penerbit mayor atau kamu kalah lomba yang diadakan penerbit mayor maka duniamu kiamat?

Tidak. Sangat banyak jalan menuju kesuksesan. Bahkan pada era digital 4.0 seperti sekarang, ditolak oleh penerbit mayor bisa jadi adalah awal langkah suksesmu di platform.

Saya kenal seorang penulis platform yang tidak terkenal di kalangan penulis mayor, bisa mendapatkan Rp. 100 juta setiap bulan. Bahkan dia merenovasi rumahnya jadi seperti istana.

Waktu dia menunjukkan foto rumahnya di snapWA, saya jadi berpikir, apakah gengsi itu?

Mungkin menjadi Penulis mayor terlihat bergengsi. Kamu punya karya cetak yang bisa dipeluk dan dipamerkan ke mana-mana. Tapi lalu apa? Apakah gengsi bisa dipakai buat membayar token listrik? Bisa buat beli susu anak? Banyak Penulis mayor tidak terkenal yang menggangap menulis sebagai penghasilan sampingan, ya karena memang mereka nggak tahu caranya menjadikan tulisan sebagai ladang nafkah utama.

Setelah terbit mayor pun, kamu harus promosi kok supaya banyak yang beli, nggak bisa diem-diem aja. Nah lalu kenapa nggak nulis di platform berbayar dan tetap promosi?

Banyak platform yang memberi royalty minimal 30% (misalnya Cabaca dan Storial). Bahkan KBM memberi royalty sampai 70% yang saya yakin penerbit mayor mana pun nggak akan pernah memberikannya karena ada harga cetak buku yang harus mereka tanggung dan biaya menggaji pegawai.

So, gengsi atau tidak sebenarnya tergantung dari diri sendiri. Sudah terbit di penerbit mayor pun kalau penjualan seret, buat beli beras masih utang tetangga, yang ada kamu malah dipermalukan dan akhirnya berpikir, "Jadi penulis tidak bakalan kaya."

Mindset itu perlu kita ubah menjadi: Mau menulis di mana pun, menjadi penulis penerbit atau platform, semua sama bergengsi tergantung kita mau promosi atau tidak.





Write Without FearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang