Teman saya ada yang berhenti menulis sebab kuliahnya mulai sibuk. Saya menulis topik ini bukan karena menyuruh Temans yang baca ini putus sekolah. Bagaimana pun sekolah sangat penting untuk menunjang kehidupan, tetapi sekolah belum tentu membuat kita sukses. Maka, sudah saatnya Temans berpikir apakah layak berhenti menulis demi mendahulukan sekolah?
Sebelum kita bahas lebih jauh, yuk nonton video ini.
Kalau sudah nonton, apakah Temans menjadi semakin tercerahkan atau semakin buram?
Mungkin hal pertama yang harus kita pikirkan bersama adalah, kenapa saya sekolah?
Anak Indonesia kebanyakan sekolah karena ya udah, disuruh orang tua sekolah. Kita nggak pernah kan ditanya mau sekolah atau nggak. Usia SD malah kita seringnya nggak bisa milih mau masuk sekolah mana. Orang tua lah yang mengambil keputusan memasukkan kita ke mana. Nggak salah juga, karena kita masih kecil dan belum mampu mengambil keputusan dengan tepat.
Di sekolah kita dijejali pelajaran yang belum tentu kita suka. Hal ini berlangsung terus sampai SMA. Sesudah SMA kita bakal dihadapkan pada pilihan mau mengambil kuliah jurusan apa.
Tahu nggak, dulu saya sebenarnya pengen jadi dokter. Bukan karena saya suka, tapi karena saya nggak tahu mau jadi apa. Saya nggak kenal profesi lain karena nggak ada bayangan kerjanya bakal ngapain.
Pelajaran yang paling saya suka di sekolah adalah Bahasa Indonesia karena ada pelajaran menulis dan analisis novel. Ekskul yang saya sukai adalah paduan suara. Dari SD sampai kuliah, saya selalu ikut paduan suara. Pada waktu luang saya kalau nggak menulis novel yang saya baca sendiri, baca buku, ya nyanyi.
Tapi orang tua saya sebagaimana kebanyakan orang tua lain, menganggap menulis dan menyanyi cuma hobi, bukan sesuatu yang harus ditekuni untuk mencari nafkah.
Pada akhirnya, karena saya tidak diterima di fakultas kedokteran, saya pun masuk dan kuliah di fakultas lain. Saya nggak menyesal karena meskipun ini adalah suruhan orang tua, ternyata ilmunya bermanfaat. Tetapi, ada satu masalah yakni, terkadang saya tidak menikmati pekerjaan ini. Akibatnya saya bekerja hanya demi mendapatkan gaji, bukan karena ingin mengembangkan diri.
Kalau menurut video yang kita tonton di atas, kita akan sukses kalau memiliki antusiasme pada apa yang kita lakukan.
Kok bisa gitu?
Iya, sebab antusiasme bikin kita menyusun target. Kita nggak akan kehabisan energi untuk mengulik yang kita sukai, mempelajari hal-hal baru.
Sebagai contoh, saya suka banget menulis. Maka saya akan mengulik gimana sih cara bikin tokoh yang memorable? Gimana menciptakan alur yang bikin pembaca tertarik? Gimana bikin potongan bab yang menjadikan pembaca penasaran?
Ya, hal-hal seperti itu.
Lalu apa hubungannya sama sekolah?
Begini Temans, ada teman saya yang kuliah di FKIP bukan karena dia suka mengajar. Dia nggak peduli sama sistem pendidikan. Dia nggak peduli apakah siswa akan tertarik dengan cara dia mengajar atau nggak. Dia memilih masuk FKIP supaya jadi guru dan diangkat PNS sesuai kata orang tua. Katanya PNS kan punya kehidupan yang terjamin, dapat pensiun, dan lain sebagainya.
Salahnya di mana?
Salahnya adalah, hal ini menyebabkan dunia pendidikan kita hancur. Guru-guru saya dulu kayaknya sedikit banget yang pengen jadi guru karena cinta mengajar. Mereka juga cuma mau jadi PNS. Makanya dalam mengajar nggak inovatif bahkan cenderung membosankan. Guru matematika terkenal galak. Mungkin karena mereka nggak menikmati proses mengajar dan itu berdampak pada proses belajar mengajar yang stressful. Tidak fun sama sekali.
Ada lagi seorang teller bank. Katanya dulu lulusan fakultas pertanian sebuah universitas negeri. Dia bilang memilih masuk fakultas itu bukan karena mau bertani, juga bukan mau memajukan dunia pertanian, tetapi karena saingannya sedikit dan passing grade nggak setinggi FK atau FT. Sekarang gini dia jadi teller bank, pekerjaan yang sangat bertentangan dengan jurusannya. Sekali lagi, seperti banyak orang, dia bekerja demi mendapat gaji bulanan.
Terus di mana salahnya? Kan yang penting halal.
Salahnya adalah, kita jadi hidup tanpa kesenangan. Nggak happy, melakukan kegiatan sehari-hari tanpa tujuan, hanya rutinitas.
Bahayanya adalah, kita bakal stuck di pekerjaan itu. Nggak naik, nggak turun, tapi begitu-begitu saja.
APAKAH SEBAIKNYA KITA PUTUS SEKOLAH?
Raditya Dika yang kuliah di Fisip UI, nggak pengen jadi diplomat, politikus, atau anggota DPR. Selama kuliah dia aktif menulis, nge-YouTube, dan jadi stand up comedian. Sejak tahun 2007 dia membuat kanal YouTube dan aktif di sana. Bahkan sebelum masa Atta Halilintar, Raditya menjadi YouTuber terkaya.
Tetapi, dia tetap melanjutkan kuliah sampai tamat meskipun mati-matian membagi waktu dengan menjalankan hal yang dia sukai. Lihat deh Raditya Dika sekarang. Dia punya koleksi Rolex bahkan bisa beli rumah dari hobinya.
Kuliah penting buat menciptakan jaringan. Jaringan dia di UI bermanfaat untuk karirnya.
So, kita bisa kok tetap kuliah tanpa harus mengorbankan apa yang kita suka.
Saya juga mau berbagi mengenai kisah Kak rachmahwahyu. Sekarang follower Wattpad sudah mencapai 30K. Meskipun Kak Ra sebentar lagi S2, tetapi sumber penghasilan terbesarnya malah bukan dari ilmu yang dia tekuni di bangku kuliah, melainkan dari menulis. Kak Ra juga sibuk menyelesaikan tesis, bahkan kerja juga, tapi tetap meluangkan waktu untuk menulis.
Kenapa bisa gitu? Karena Kak Ra bahagia melakukannya. Kak Ra nggak terbeban menulis. Sesibuk apa pun real life, dia tetap meluangkan waktu untuk menulis dan promosi. Dia bisa menjalankan kesenangan menulis tanpa mengorbankan sekolah.
Sekarang, keputusan ada di tangan kamu. Tanya deh ke diri kamu sendiri, kamu mau jadi apa?