SELERA SENDIRI vs SELERA PEMBACA

125 17 5
                                    

Salah satu hal yang sering dipertanyakan penulis adalah harus memilih antara menulis sesuai selera diri sendiri atau selera pembaca.

Sebelum membagikan pemikiran pribadi, saya akan menyampaikan hal ini terlebih dahulu:

Rekan penulis biasanya menanyakan hal yang tidak perlu ditanyakan hanya untuk mendapatkan dukungan atas pilihan mereka.

Paham kan maksud saya?

Sebenarnya kalau bisa memilih, semua orang pastinya mau mengerjakan sesuatu sesuai seleranya, bukan selera orang lain.

Lalu kenapa harus bertanya?

Karena penulis pengen menulis sesuai seleranya sendiri tapi takut nggak ada yang baca.

Ya kan?

Makanya muncullah pertanyaan ini supaya si penulis mendapatkan dukungan semacam, "Udahlah, nulis aja sesuai selera kamu, nanti juga ada yang baca kok."

Bener atau betul? 😌

Sekarang saya ganti profesi dulu deh.

Andaikan saya seorang koki. Saya pengen masak mie goreng campur jus jambu dengan topping lidah buaya sesuai selera saya. Boleh nggak saya masak makanan seperti itu?

Boleh, siapa juga yang bisa melarang?

Tapi pertanyaannya, boleh nggak seandainya saya koki yang digaji oleh sebuah restoran (bukan punya saya), memasak makanan seperti itu padahal restoran itu punya target pemasukan misalnya Rp. 200 juta sebulan?

Silakan dijawab.

Sekarang mari kita mulai membahas pilihan apakah sebaiknya menulis sesuai selera sendiri atau selera pembaca.

SEGALA HAL YANG KITA LAKUKAN MEMILIKI RISIKO

Ketika kita bernapas, yang kita butuhkan adalah oksigen. Namun udara yang masuk ke saluran pernapasan kita tentu saja bukan hanya oksigen. Bisa jadi karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbel (PB) ikut masuk ke dalam saluran pernapasan.

Tahu apa artinya?

Bahkan aktivitas bernapas pun mengandung risiko.

Dengan demikian, menulis sesuai selera pribadi dan selera pembaca juga mengandung risiko masing-masing.

Kalau seorang penulis memilih menuruti seleranya tanpa memikirkan selera pembaca, mungkin dia merasa puas, senang, dan terhibur dengan karyanya, tapi secara finansial terpaksa gigit jari.

Ini sudah sering terjadi dan dikeluhkan para penulis.

Sebaliknya, kalau menulis berdasarkan keinginan pembaca, makan penulis tidak akan bisa bahagia, tulisannya tidak bernyawa, dan kosong.

Lalu bagaimana solusinya?

SEBAGAI PEMULA, MENULIS SAJA DULU

Seorang bayi yang baru belajar bicara, akan mengucapkan apa saja sesuai seleranya. Mungkin kita pernah mendengar balita bilang, "Cici" sementara yang dia maksud adalah kelinci. Balita tersebut tidak memikirkan apakah ucapannya menyenangkan orang-orang yang mendengar atau tidak.

Baru setelah semakin dewasa, bayi yang bertumbuh menjadi anak-anak, remaja, lalu dewasa, belajar bagaimana mengolah kata-kata agar enak didengar.

Orator seperti Bung Karno yang kata-katanya mengguncang dunia pun pastinya pernah melewati fase tidak sempurna saat bicara ketika masih bayi. Namun beliau belajar bagaimana berkata-kata untuk mempengaruhi orang, menyenangkan kawan, dan menggetarkan lawan melalui proses yang panjang.

Begitu pula dengan diri kita sebagai penulis pemula. Tulislah apa yang ada di dalam benakmu. Mau hancur atau aneh, tulis saja.

Lihatlah apakah ada pembacanya?

Jika tidak ada, mulai perbaiki sedikit demi sedikit. Bergabunglah dengan grup kepenulisan yang meningkatkan kemampuan penulis.

NIKMATI PROSESNYA

Menulis sebagaimana pekerjaan lain, memiliki tahap yang harus dilalui. Jatuh, bangun, tiarap, berdarah, bercucuran air mata, dan seterusnya.

Akan tetapi sepanjang proses itu, jika kita kuat melewatinya, kita akan menemukan ritme sendiri. Tulisan seperti apa yang nyaman bagi kita untuk menuliskannya sekaligus menyenangkan bagi orang lain untuk membacanya.

Selama proses itu kita akan belajar bagaimana mempertemukan keinginan diri kita dengan keinginan orang lain. Kita akan belajar menekan ego dan tidak memaksakan selera kita pada pembaca. Kita akan belajar bahwa perut tidak akan kenyang jika hanya mengedepankan idealisme semata sehingga perlu menulis sesuatu yang disukai orang lain.

PAHAMILAH BAHWA TIDAK ADA YANG SALAH DALAM MENULIS

Setiap penulis punya tujuan masing-masing. Ada yang sekadar hobi, ada yang menulis untuk berbagi pengalaman, ada yang menulis untuk mengajar, ada pula yang menulis demi uang.

Tidak ada yang salah dengan semua itu. Satu hal yang perlu kamu camkan adalah setiap tujuan menulis punya teknik masing-masing.

Sama seperti berbicara. Sebagai contoh, cara bicara seorang pengacara yang tegas dan cenderung menyerang pastinya akan berbeda dengan sales kartu kredit yang cenderung membujuk. Apakah di antara mereka ada yang salah? Tentu saja tidak. Namun harus disadari juga akibat yang ditimbulkan pastinya berbeda.

Kamu mau menulis sesuai selera kamu? Hanya hobi semata? Hanya untuk mengajar atau mengikuti selera pembaca? Semua ada akibatnya.


Write Without FearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang