KENAPA TULISAN BAGUS TIDAK LAKU

178 44 5
                                    

KENAPA TULISAN BAGUS TIDAK LAKU?

KENAPA TULISAN BAGUS HANYA SEDIKIT DIBACA?

Well, sebelum menjawab ini, saya mau cerita dulu. Di grup kepenulisan tempat saya bergabung yakni The WWG, ada program menulis bersama atau project-project. Peserta project diminta saling mengomentari sinopsis, outline, character plan, dll. Duluuuuuu, saat masih 100% memegang idealisme bukan cuanisme, saya hobi banget membantai naskah teman-teman saya. Ada aja kekurangan di mata saya. Pokoknya saya pengen teman-teman di project melahirkan karya yang 'bagus'.

Sampai kemudian kenyataan menghantam saya. Bahwa ketika kita menulis, hal yang sangat salah adalah menilai kualitas tulisan dari teknik menulis. Kenapa? Karena novel adalah produk seni, bukan produk teknologi seperti HP yang punya standar bagus.

Di platform, tulisan-tulisan yang maaf, hancur secara teknik menulis, logika cerita berantakan, anak dan induk kalimat nggak jelas, riset nol besar, justru diminati pembaca, bisa dibaca jutaan orang bahkan diangkat jadi series dan film.

Kenapa?

Kenapa bisa gitu?

Sekali lagi, tulisan sama seperti lukisan, musik adalah produk seni yang nggak punya standar kualitas.

Contoh, apa teman-teman tahu gambar ini?

Lukisan menakutkan karya Willem de Kooning yang menurut saya nggak ada bagus-bagusnya ini terjual USD 137

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lukisan menakutkan karya Willem de Kooning yang menurut saya nggak ada bagus-bagusnya ini terjual USD 137.500.000 atau sekitar Rp 1,8 triliun pada tahun 2006.

Saya pernah pesan ilustrasi cover buat novel platform. Ilustrasinya jauuuuuh lebih bagus. Si Ilustrator hanya minta Rp. 300 ribu dan saya sudah keberatan. 😆😆😆😆. Akhirnya setelah ditawar, deal di harga 200 ribu.

Jadi, apa sih yang bisa menyebabkan sebuah karya seni disukai atau berharga mahal? Bukan kualitasnya tentu saja. Karya seni nggak bisa dinilai bagus atau tidak dari kacamata satu orang karena sifatnya yang sangat subjektif.

Balik lagi ke novel, pembahasan yang selalu saja ramai dibicarakan adalah: Kenapa sih di platform, novel yang laku adalah kisah romance pelakor, CEO, ena-ena, coblos crot yang menurut sebagian orang tidak berkualitas?

Sebab pembaca suka.

Banyak Penulis yang mendiskusikan ini dan merasa sedih atau miris. Tetapi kesedihan dan kemirisan mereka terkadang bikin saya ketawa.

Temans, kalau kita mau menangkap kucing, kasihlah dia ikan segar, jangan dikasih wortel.

Tahun 2017, ada salah satu senior saya bilang gini, "Bell, kalau kamu nulis novel hot terus, nanti nggak akan ada penerbit mayor yang meminang naskah kamu."

Apakah saya nge-down dengan nasihat itu lalu berubah haluan?

Hohoho, jelas tidak, Teman-teman. Saya justru mikir, kalau penerbit mayor yang ada sekarang nggak mau meminang saya, maka saya suatu hari akan kaya dan bikin penerbit sendiri plus toko buku sendiri yang memajang karya saya. Sungguh saya bangga dengan prinsip yang saya pegang. Jadi saya lanjutkan nulis yang saya mau.

As time goes by, waktu yang membuktikan bahwa saya benar. Cerita hot sangat booming. Cerita dengan bumbu seks yang dianggap tidak berkualitas laku keras di platform.

Lihat kan, nggak perlu terbit mayor atau buku nangkring di toko buku pun, Penulis bisa hidup sejahtera.

Jadi, apa sih resep tulisan kita bisa dibaca banyak orang dan menghasilkan uang?

Buatlah pembaca terhibur dan terinspirasi.

Dua-duanya harus ada.

Nggak harus nulis pelakor, perselingkuhan, naena, CEO, nggak. Tapi jangan sampai tulisan kita menggurui pembaca.

Manusia pada dasarnya suka belajar, tapi nggak suka sekolah. Ada sih orang yang hobi sekolah, tapi kebanyakan dari kita lebih suka kalau sekolahnya libur. Ya kan. 😆









Write Without FearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang