Hello temans penulis, lama ya saya nggak menulis di sini. Datang-datang saya bawa ghibahan karena saya memang suka ghibah 😆. Ghibahan terkadang saya masukkan ke dalam tulisan. Lumayan lah daripada dosa gratisan lebih baik dosa jadi cuan 💵.
Ghibahan kali ini berasal dari penerbit mayor. Ada sebuah penerbit mayor yang mengadakan event. Nggak perlu saya sebutkan event apa itu intinya semua penulis dari berbagai genre bisa ikut.
Teman saya menulis sebuah novel bergenre fantasy dengan kearifan lokal, mengangkat budaya lokal. Menurut dia dan editornya, naskah tersebut bagus. Teman saya ini terpilih masuk 50 besar tetapi tidak lolos di babak berikutnya. Cerita yang lolos ke babak berikutnya bergenre romance yang notabene nggak sesusah riset dan proses penulisan novel fantasy ini.
Teman saya sekarang dalam keadaan down dan berduka cita karena merasa karyanya layak terbit.
Ada yang pernah mengalami hal yang serupa?
Oke, karena karakter dominan saya adalah koleris yang mungkin bagi sebagian orang dingin dan main logika, saya nggak akan pukpuk kalian yang sedih dan gagal. Jujur, saya tidak suka air mata. Tetapi supaya teman-teman tidak mengalami kegagalan yang sama di kemudian hari, mari kita bedah masalah ini dan cari jalan keluarnya.
Kalau kamu baperan, tolong tinggalkan lapak ini daripada semakin depresi. Carilah teman sanguinis yang akan menceriakan harimu atau plegmatis yang akan mendengarkan curhatmu. Jangan datang kepada koleris untuk curhat kalau nggak butuh solusi. Oke!
BARANG YANG LAKU TIDAK SELALU BARANG YANG BAGUS
Apakah teman-teman tahu merek Supreme?
Supreme adalah merek untuk berbagai macam barang. Mulai dari batu bata sampai jaket, semua ada. Barang biasa saja yang ditempelkan merek Supreme maka harganya akan jadi super nggak ngotak.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Biskuit Oreo yang harganya nggak sampai Rp. 10K, begitu dikasih logo Supreme, langsung naik berkali-kali lipat.
Pertanyaannya, apa ada yang beli? Oh banyak, Boss.
Kenapa bisa begitu?
Penyebabnya adalah branding.
Selama ini jaket Supreme sering dipakai pesohor Hollywood. Makanya orang biasa yang bukan selebritis berburu barang Supreme biar berasa kayak artis.
Apakah kualitas barang Supreme bagus banget?
Oh tentu saja tidak. Saya yakin pengrajin jaket kulit di Jogjakarta bisa bikin jaket yang lebih bagus.
Bicara tulisan kamu, apakah branding kamu sudah kuat? Apa yang pembaca dapat setelah membaca novel kamu? Apakah pembaca rela antri untuk mendapatkan novel kamu seperti pembaca Harry Potter dulu antri demi mendapatkan novel terbarunya?
Ini bukan masalah novel kamu bagus atau nggak.
Ingat ya, minuman soda yang warnanya cokelat itu bikin osteoporosis, diabetes dan gagal ginjal tapi orang tetap beli padahal minuman itu nggak ada bagus-bagusnya.
PIKIRKAN LAGI UNTUK SIAPA KAMU MENULIS?
Niat menulis menentukan hasil akhirnya.
Ada teman saya yang menulis untuk dirinya sendiri. Dia nggak mau tertekan. Menulis untuk healing.
Sekarang pertanyaan saya, untuk apakah penerbit dibuat? Apakah para pemegang saham perusahaan penerbitan membangun penerbit hanya untuk memuaskan ego penulis yang niat menulisnya hanya untuk idealisme sendiri?
Tentu saja tidak.
Perusahaan penerbitan itu bukan punya mbahmu!
Catat itu, teman-teman.
Uang bagi perusahaan ibarat darah bagi manusia. Tanpa uang maka perusahaan akan mati, bangkrut, dan pengangguran akan banyak. Kalau banyak pengangguran maka akan menciptakan masalah sosial seperti perampokan, pengemis, pencurian, dsb.
Maka dari itu alangkah baiknya sebelum memutuskan untuk terbit di penerbit mayor, pikirkan apa tujuan kamu menulis. Kalau kamu menulis untuk dirimu sendiri, kenapa kamu nggak bikin penerbit sendiri?
Tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kamu rela mengeluarkan duit Rp. 20 juta untuk menerbitkan novel tapi ketika sudah terbit, nggak ada yang beli?
Kalau kamu rela, mungkin kamu bisa menghadap pada direktur penerbitan mayor dan bawa duit 20 juta. Bilang gini, "Pak, saya mau naskah saya terbit cuma untuk diri sendiri. Untuk gengsi saya biar punya buku yang dipajang di Gramedia. Ini duit saya, terbitin dong naskah saya. Laku atau nggak, tidak masalah."
Rela nggak kalian uang Rp. 20 juta itu melayang begitu saja untuk biaya terbit seperti bayar editor, lay outer, cover designer, dan biaya percetakan tapi novel kalian nggak ada yang beli atau kalaupun ada yang beli hanya sedikit?
Pihak penerbit pastinya sudah punya perhitungan apakah naskah yang diterbitkan akan diserap pasar atau tidak.
Kalau kamu sudah terkenal atau punya banyak fans, mungkin saja penerbit berubah pikiran.
BELAJARLAH UNTUK REALISTIS
Nggak ada yang melarang kamu menulis sesuai dengan idealisme kamu. Tetapi ingatlah, Temans, setiap pilihan yang kita ambil selalu diikuti konsekuensi.
Kamu mau menulis naskah yang menurut kamu bermanfaat tanpa adegan 21+, silakan. Tetapi pada akhirnya pasarlah yang akan menentukan apakah karya kamu menyenangkan untuk dibaca atau tidak.
Novel dibaca untuk menghibur pembaca. Kalau novel kamu yang indah dan penuh pesan moral itu nggak ada yang membaca, maka kamu tidak perlu sedih, sebab itulah konsekuensi dari pilihan yang kamu ambil.
Kalau kamu nekat melawan arus, mau menulis novel fantasy dengan kearifan lokal tetapi pembaca merasa pusing dengan novel kamu dan akhirnya malas baca, maka kamu juga harus siap.
Kamu nggak mau dipaksa mengikuti kemauan orang lain, maka demikian pula kamu tidak bisa memaksa orang lain mengikuti idealisme kamu.
JANGAN HANYA TERFOKUS PADA ILMU MENULIS
Banyak sekali teman saya yang menjadi Penulis hanya ikut kelas menulis. Mereka pikir kalau tulisan sudah keren banget maka otomatis pembaca akan berdatangan.
Saya tekankan: Ini salah besar.
Mau sampai jungkir balik kayang kamu nulis bagus-bagus, kalau nggak bisa menjual tulisan kamu, jangan harap pembaca akan datang.
Maka ada baiknya teman-teman belajar ilmu caranya berjualan, cara menjadi sales, cara marketing, cara branding.
DENGARKAN DAN RENUNGKAN KRITIK
Orang yang meluangkan waktu untuk mengkritik kamu adalah orang yang pengen melihat kamu maju.
Saya sering membaca novel yang acak-acakan, berantakan, tapi saya malas kritik ke penulisnya karena malas mendapatkan drama. Apa yang saya lakukan? Tinggalkan, nggak perlu baca lagi.
Inilah efek dari banyak penulis yang baperan, suka ngedrama, dan suka bawa pasukan.
Ada pepatah, Pelaut yang tangguh tidak tercipta dari laut yang tenang.
Artinya apa? Kita ini manusia. Hanya akan kuat kalau ditempa.
Kalau kamu mau jadi penulis yang tangguh, nggak lembek, dan sukses, belajarlah menerima, mendengarkan, dan merenungkan kritik.
Kalau kamu lemah, baperan, suka berlebihan menanggapi kritik, akhirnya pembaca malas berinteraksi sama kamu. Orang baperan itu menguras energi. Tinggalkan saja orang yang bikin pusing.
Apalagi orang koleris kayak saya. Mending cari duit daripada ngurusin drama tidak bermanfaat.