Part 19

5.5K 971 16
                                    

Kesembilanbelas :

—Kehidupan Dasha menjadi berubah semenjak pemberian hadiah yang ia berikan kepada para Nona bangsawan kemarin. Surat undangan terus berdatangan sehingga membuat Abigail pusing untuk memilah dan memberikan kepada Nonanya.
"Nona, kenapa setelah acara kemarin banyak bangsawan yang mengirim surat ke Nona?" keluhnya membawa sekantong surat kehadapan Dasha. Gadis itu terlihat santai menghadapinya, karena ya, ia sudah tau akan seperti ini. Dasha dengan cueknya menyeruput teh yang ia pegang lalu memandang kearah luar jendela kamarnya.

"Nona, jadi surat siapa yang akan Nona hadiri?" tanya Abigail membaca nama pengirim surat satu persatu.

"Entahlah, tentunya yang menguntungkan buatku." sahutnya tanpa menatap Abigail.

Disaat Dasha yang menikmati pemandangan taman dari kamarnya, ia melihat ada satu pelayan yang berlari dengan terburu-buru masuk kedalam mansion Marquis. Hah, ada apa ini? Karena penasaran Dasha dengan cepat turun dari kamarnya menuju keruang utama mansion.

Langkah demi langkah ia menuruni tangga dengan cepat, tak peduli pada suara pekikan dari Abigail dibelakang yang memanggil namanya. Setelah sampai diruang utama, gadis itu terdiam ditempat. Sedikit ia mendengar perkataan pelayan laki-laki tadi yang terlihat sangat ketakutan sampai terduduk dilantai.

"Benar Tuan Marquis, saya melihatnya sendiri. Bagaimana ini Tuan?" ucapnya dengan ketakutan.

Marquis Bryony memijit keningnya, seakan ini masalah yang serius. Pelan-pelan Dasha menghampiri kedua orang lelaki paruh baya yang tengah memikirkan sesuatu itu.
"Ayah, apa ada masalah?" Marquis Bryony menengok kearah anaknya itu, "Iya, masalah yang sangat besar Dasha." jawab Tuan Marquis.

"Masalah besar apa itu?" tanya kembali gadis itu, tapi Tuan Marquis malah memalingkan wajahnya. Jadi mau tak mau hanya pelayan didepannya inilah yang dapat menjawab pertanyaannya itu.

Dasha menghampiri pelayan itu, ia berlutut menyamakan tingginya dengan pelayan lelaki yang umurnya sama seperti Ayahnya. "Ceritakan kepadaku." katanya, pelayan itu menatap kearah Tuan Marquis mencari tau apakah ia boleh menceritakan hal ini kepada Nona dikediaman itu? Dan Tuan Marquis itupun mengangguk tanda diperbolehkan.

"Masalah itu adalah, sewaktu saya dan rekan saya hendak membersihkan halaman luar gerbang mansion. Kami awalnya bercanda gurau Nona, tetapi beberapa menit setelahnya saya melihat ada sebuah asap hitam yang datang lalu asap itu seperti memakan rekan saya. Saya sempat kaget, bahkan saya tidak bisa berteriak hanya untuk meminta tolong Nona. Saya.. sayaa.." pelayan itu mengakhiri ceritanya sambil menangis saat mengingat kejadian yang sangat menyeramkan baginya.

"Kalian tidak memiliki sihir? Lalu bagaimana keadaan rekanmu? Apa kalian membawa bawang putih?"

Pelayan itu mengusap airmatanya, lalu ia menjawab, "Saya tidak memilikinya Nona, tapi rekan saya punya. Namun ia tidak bisa mengeluarkan sihirnya, kami juga sudah membawa bawang putih yang diberikan istana. Saya juga tadi sempat membantu menarik tangannya untuk pergi dari asap itu tapi percuma saja Nona, dan dalam beberapa detik ia terjatuh lemas dengan mata yang melotot serta badannya tinggal tulang dan kulit saja Nona."

Deg

Dasha terkesiap setelah mendengar jawaban dari pelayannya itu. Jika mereka sudah membawa bawang putih, berarti pembunuhnya sesuai tebakan Dasha sebelumnya. Dan tunggu, ia bilang asap hitam? Apa mungkin penyihir hitam? Tapi buat apa ia membunuh? Ini sungguh tidak masuk akal! Ia harus segera bertemu dengan ketiga keturunan Dewa untuk membicarakan hal ini.

...

Tujuan kereta kuda yang dipakai Dasha sekarang adalah istana. Ya, ia tidak mungkin datang ketempat tiga keturunan Dewa itu satu persatu. Jadi ia memutuskan untuk ke istana bertemu dengan Leon.
Sesampai di istana, entahlah darimana lelaki berambut hitam itu tau jika Dasha akan datang ke istana. Pasalnya Leon sudah menyambut Dasha didepan pintu istana dengan senyuman hangat dan terlihat wajahnya yang sangat kelelahan. Apakah Leon lembur sampai tidak ada waktu untuk istirahat.
"Kau akhirnya datang, ayo masuk." ucapnya menarik pergelangan tangan Dasha.

Sepanjang perjalanan lelaki itu tidak berbicara sepatah katapun, ia terus berjalan kedepan sampai pada ruangan kerja miliknya. Ia tutup pintu berwarna coklat itu dan membawa Dasha kekursi panjang yang ada diruangan itu. Ya, mereka hanya berdua disana.

"Yang Mulia, aku kesini karena—" belum selesai gadis itu berbicara, jari Leon mendarat kebibir Dasha untuk mengisyaratkan Dasha berhenti. "Aku sudah tau." ucapnya lalu menarik jarinya kembali.

"Syukurlah, kita harus segera membicarakan ini Yang Mulia dengan Tuan Duke dan juga Penyihir Agung." gadis itu berdiri dari duduknya tapi langsung ditarik kembali oleh Leon untuk duduk. Dasha menatap kearah lelaki disampingnya itu, mata Leon yang berwarna merah dan terlihat jelas sekali dari dekat lingkaran hitam disekitar matanya.

Lelaki itu kini menyandarkan kepalanya kepundak Dasha membuat sang gadis sedikit kaget, "Tolong tetaplah seperti ini dulu, aku sangat lelah Dasha." lirihnya dan apa Dasha salah dengar? Leon memanggil namanya tanpa embel-embel Nona? Astaga wajah Dasha menjadi merah sekarang.

Gadis itu membiasakan kepala Leon yang menyandar dipundaknya, ia juga mengatur posisi duduknya agar Leon merasa nyaman. Beberapa menit setelah itu, lelaki bernama asli Leon Istvan tidak terdengar suaranya lagi. Hanya dengkuran halus yang terdengar, ah ternyata lelaki itu tidur. Pelan-pelan Dasha mengusap-usap rambut hitam yang lembut itu. Kasihan juga melihat Leon, ia mengurusi masalah istana ditambah kasus saat pesta sewaktu itu.

Disisi lain, Dasha yang masih asik mengusap-usap lembut rambut Leon itu tidak menyadari kedatangan seseorang yang kini tengah berdiri didepan pintu sambil melihat pemandangan yang membuat hatinya teriris.

Ehem

Dehaman dari lelaki itu membuat Dasha menghentikan aktivitasnya, ia pun menoleh kesumber suara itu. "Tuan Duke?" panggilnya. Kenneth yang sudah berdiri cukup lama itu tersenyum lalu menghampiri Dasha, "Biar aku saja." ucapnya. Dasha kebingungan, maksudnya apa? Melihat Dasha yang tidak mengerti, Kenneth menghela napasnya panjang, "Biar aku saja yang menopang kepalanya. Pundakmu nanti sakit jika terus-terusan seperti itu." jelas Kenneth, ia pun langsung segera menyuruh Dasha untuk berdiri dan membiarkan Kenneth yang menggantikannya. Dasha menurut, untung saja Leon tidak bangun saat pergantian itu.

Tepat setelah pergantian itu sukses, Lucas datang dan langsung tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan didepan matanya itu.
"Hahaha, apaan ini? Astaga gunung es dan gunung berapi romantis sekali." ucapnya terus tertawa, sedangkan Kenneth yang mendengar itu mencoba menahan amarahnya. Jika bukan karena ia tidak mau Dasha terus-terusan mengelus rambut Leon, ia mana sudi.

"Astaga demi ketampananku, aku tidak bisa menahan tawa ini. Jadi apakah Leon menyuruhku kesini hanya untuk melihat keromantisan kalian?" tanya Lucas, ia mengusap airmatanya yang keluar saat tertawa tadi.

"Bisakah kau diam? Mau kulempar keluar?" ancam Kenneth dengan tatapan dingin seperti biasa, membuat bulu kuduk Lucas berdiri. "Tidak-tidak, baiklah aku tidak tertawa sekarang." balasnya santai lalu duduk disamping Dasha.

Mungkin karena suara Lucas yang menggelegar tadi, Leon menjadi terbangun dari tidurnya. Pelan-pelan mata berwarna merah itu terlihat. "Kalian sudah berkumpul.. heh, Dasha kau kenapa disitu, lalu.." Leon menoleh kesampingnya dan...

Bruk

Leon melempar bantal kecil yang ada dikursi itu kewajah Kenneth. "Sialan, kenapa kau yang disampingku!" pekiknya. Sungguh sial Kenneth saat ini, ingin rasanya ia melempar Leon keluar tapi ia masih ingat jika lelaki itu adalah Kaisar disini, jadi tabahkan hatimu Kenneth!

---

the last descendants

semoga gak garing deh yaaa.... aamiin

The Last Descendants Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang