45 | Sebuah Pilihan

34 3 0
                                    

45 | Sebuah Pilihan

45 | Sebuah Pilihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

“Denver memang begitu, ‘kan, Ta? Dia enggak mungkin berantem, apalagi ini masih lingkungan sekolah.”

Perkataan Runa membuatnya teringat kejadian lalu. Denver selalu memilih berdebat dengan Kak Edgar, alih-alih beradu fisik. Atlet taekwondo yang meredam emosi di dada. Justru Denver merasa ‘menang’ jika lawan kesal atas ucapan maupun tindakannya. Mungkin hanya itu satu-satunya cara supaya Denver merasa baik-baik saja.

Zetta kembali fokus pada buku yang terbuka di depannya. Ruang perpustakaan dipenuhi kelas sebelas, kelas Zetta dan Denver. Jam terakhir sebelum pulang. Guru Bahasa Indonesia menyerahkan latihan soal untuk dikerjakan hari ini. Zetta sudah selesai, tinggal dikumpulkan saat bel berdering nanti.

Di sisi lain, Runa masih mencatat jawaban di buku tugasnya. Sesekali kepalanya menoleh kepada Zetta. Dia menaik turunkan alis, tersenyum usil.

“Maaf.” Zetta dan Runa serentak berujar. Mengundang tawa pelan keduanya.

Persahabatan mereka tidak usai. Zetta bersyukur untuk itu. Runa hanya satu dari sekian murid Asanka yang mengerti dirinya. Takkan lagi Zetta biarkan cewek itu menjauh, bahkan pergi.

“Run, menurut kamu … mudah nggak lupain Denver?” tanya Zetta. Bertopang dagu, mengamati ekspresi Runa yang tampak menerawang. Sunyi sesaat. Cahaya redup di luar ruangan tak lantas mengaburkan mata cokelat Runa.

“Nggak mudah,” kata Runa. Tangannya berhenti menulis. “Tapi cuma itu satu-satunya cara supaya kita bisa sahabatan terus.”

“Run—” Perkataan Zetta terpotong, sesaat setelah Runa mengusap punggung tangannya.  

Dia menyunggingkan senyum tulus. Mendadak menelusup perasaan getir yang coba Zetta tahan. Sayangnya, harus ada yang berkorban untuk melupakan Denver. Zetta tidak sanggup melakukannya, begitu pula dengan Denver. Cowok itu hanya menganggap Runa sebagai sahabat, tak lebih.

“Aku baik-baik aja.” Runa meyakinkan Zetta, kalimatnya bernada tegas. “Dari awal, hati Denver memang milik kamu, cuma dia belum menyadarinya. Itu kenapa, aku bisa salah paham, menganggap Denver belum suka sama kamu atau cewek lain.”

Zetta menarik napas, lantas mengangguk pelan. Lewat sudut mata, tampak sosok Denver duduk bersila di bentangan karpet perpustakaan. Perhatian cowok itu tertuju lurus pada buku paket, terkadang dahinya mengernit. Seolah kebingungan dengan soal yang cukup rumit dimengerti. Zetta memutuskan mengamati Denver dalam diam.

Tiba-tiba kalung bunga daisy di leher Denver menjuntai, tepat ketika cowok itu membungkuk dan kembali menulis. Zetta tersentak. Ingatannya kembali saat dirinya memberikan kalung itu dua hari setelah Denver berulang tahun. Hari ketika Denver mengaku menyukai bunga kepadanya.

Kaki Zetta terhenti begitu saja di depan toko aksesori. Pernak-pernik tersebar di beberapa meja, juga etalase. Di dalam sebuah kotak, tersimpan kalung bunga daisy putih. Zetta serta-merta teringat Denver saat itu. Mencari tahu arti bunga daisy di kolom pencarian internet. Tanpa berpikir lagi, segera membelinya untuk Denver.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang