37 | Akankah Berakhir?

41 4 2
                                    

37 | Akankah Berakhir?

37 | Akankah Berakhir?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

“Kamu nggak akan nembak aku di sini, ‘kan?”

Zetta berhenti melangkah, setengah terkejut dengan perkataan Denver. Cowok itu menghadap Zetta sambil memasukkan tangannya ke saku celana. Tertangkap raut usil yang membuat Zetta berdecak.

“Sembarangan,” katanya ketus.

“Lagian kalau mau ngomong, ya ngomong aja.” Denver mengulum senyum, lantas mengedikkan dagu supaya Zetta mengikuti langkahnya.

Mereka menyusuri jalanan menanjak, di sisi kanan terdapat tembok tinggi yang tersusun dari bebatuan. Kaki Zetta mulai terasa pegal rasanya, mengingat seharian ini ia menelusuri area taman. Tanpa beban apa pun, seakan tidak ada hal lain yang menyesakkan untuk ia bahas dengan Denver nantinya.

“Kalau menjelang malam, suasana di sini makin sayang buat dilewatin,” ujar Denver selagi mereka meniti anak tangga menuju kafe. Zetta menoleh dan tanpa sadar mengabaikan tangga yang membawanya naik. Dengan gerakan kelewat cepat, sebelum Zetta jatuh terjerembap, Denver mencekal tangannya.

“Hati-hati.” Suara Denver terdengar rendah.

Zetta berdiri tegap dan melepaskan tautan Denver dari pergelangan tangannya. Agak menyebalkan saat ia harus menahan diri untuk menjaga jarak dengan cowok itu. Berbanding terbalik dengan keinginan hati yang berkata sebaliknya. Lalu yang tersisa hanya perasaan sesak. Tenggorokannya sakit karena menahan keinginan untuk tidak menangis.

“Setiap manusia memang mudah membuat masalah, ya?” gumam Zetta, ia yakin suaranya terdengar parau. Semoga Denver tidak menyadarinya.

“Mau gimana lagi? Kita memang tempatnya salah.” Denver mengembuskan napas.

“Tapi selalu ada jalan buat berubah, ‘kan? Buat nggak mengulangi kesalahan yang sama?”

Di depan sebuah kafe, Denver dan Zetta saling berhadap-hadapan. Keduanya tidak memedulikan beberapa pasang mata yang memperhatikan. Keramaian obrolan orang-orang seolah berupa dengungan sebelum akhirnya lenyap. Mata Denver tampak lembut saat menatapnya sehingga Zetta menggigit pipi bagian dalam. Menunggu ucapan Denver selanjutnya dengan perasaan gamang.

“Iya.” Denver mengangguk cepat. “Justru kalau berubah, bukannya itu jadi nilai plus?”

Zetta termenung sesaat. Ucapan Denver benar. Namun, kalau dia yang dirugikan, apa Denver masih bisa berkata demikian? Tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri lagi, Zetta menoleh ke sekitar hingga menangkap papan menu.

“Aku aja yang pesen.” Denver meraih kedua bahu Zetta, menuntunnya hingga sampai di sebuah meja untuk dua orang. “Jangan ngelamun mulu.”

“Apa sih?” Zetta menengadah. “Jangan mulai ngeselin, ya.”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang