Bab 12 | Braga dan Luka
***
Kesan pertama ketika kali pertama Zetta berkenalan dengan Franda: cantik dan hangat. Tubuhnya juga tinggi. Gamis dan khimar yang berwarna merah marun tampak cocok dipakai Franda. Di sampingnya berdiri seorang pria, rahang tegas dan hidung mancung. Mereka benar-benar pasangan serasi.
Edgar, Stella, Adam, Franda, beserta pasangannya, telah mengelilingi meja makan. Di tengah menunggu pesanan masing-masing, telinga Zetta dipenuhi obrolan kedua belah pihak. Sesekali Zetta akan menanggapi pertanyaan Franda, perempuan itu benar-benar asyik diajak berbicara, sehingga Zetta melupakan ponselnya. Kata Stella di perjalanan ke rumah makan, Zetta dilarang bermain ponsel, begitu pula Edgar.
"Zetta kelas berapa sekarang?" tanya Franda beberapa menit kemudian.
Sebelum menjawab, Zetta menatap piring-piring yang telah tandas. Perutnya kenyang. Cita rasa masakan di restoran ini nyaris membuat Zetta kalap. Dia memang bertubuh mungil, tetepi bukan berarti tidak bisa memakan makanan dalam porsi besar. Kalau kata Edgar, Zetta doyan makan, tapi susah gemuk.
"Kelas 11, di SMA Asanka, Tante," sahut Zetta.
"Oh, ya?" Mata pria yang belum Zetta tahu namanya itu menyahut. "Kamu sekolah di sana juga?"
"Apa Om punya kenalan yang sekolah di Asanka?" Zetta mengangkat alis, tampak tertarik.
Yang ditanya mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis, dari matanya Zetta melihat ada kehangatan seorang bapak di sana. “Seumuran kayak kamu, namanya—“
Obrolan terhenti ketika Edgar menggeser kursinya ke belakang, menimbulkan suara decitan. Semua orang yang melingkari meja serempak menoleh dengan raut bingung. Edgar mengangguk singkat setelah berdiri.
“Maaf mengganggu, aku harus ke toilet,” katanya. Stella dan Adam mengizinkan Edgar pergi lewat kode tatapan mata.
Zetta baru membuka mulut ketika Edgar berlalu pergi. Cowok itu juga melupakan syarat yang dia ajukan sebelum makan malam di mulai. Kenapa secepat itu? Kalau dilihat sekilas, Edgar pun tidak bisa meninggalkan panggilan—yang mungkin penting—begitu saja. Akhirnya Zetta melirik Stella dan Adam, kemudian beralih kepada Franda dan pria di sampingnya. "Aku nyusul Kak Edgar dulu."
Zetta mengangguk sekali sebelum pergi sebagai tanda pamit. Edgar menuju ke arah belakang rumah makan, mungkin benar-benar pergi ke toilet. Dia tidak bisa masuk, tentu saja. Selagi menunggu, Zetta mengeluarkan ponsel dari tas selempang. Tangannya bergulir ke laman chat WhatsApp, kemudian menemukan nama Denver di urutan pertama. Satu per satu bayangan pertemuan ketika di taman bunga menyeruak.
"Ta, kamu percaya sama aku?"
Zetta tidak bisa menjawab. Mata Denver menatapnya lekat. Lidah Zetta terasa kelu. Pada akhirnya, Zetta mengalihkan pandangan dan menghindari tatapan Denver. "Kenapa kamu sampai mikir gitu?"
"Iseng nanya." Denver menyenderkan punggungnya di kursi.
Zetta hanya mendelik. Jantungnya yang tadi berdegup tidak biasa, kini berangsur normal. Wajah serius Denver, juga tatapannya tadi, sempat membuat Zetta tidak berkutik. Baru mengingat percakapan dengan cowok itu tidak pernah berakhir serius.
Ya, Denver hanya iseng.
"Minta kontak kamu dong," kata Denver. Nadanya terdengar santai.
"Buat apaan?" Zetta mengangkat alis.
"Namanya juga temen sekelas, wajar dong. Siapa tahu nanti ada tugas atau hal penting lain."
"Mau nyontek juga maksudnya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/199147081-288-k148200.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...