21 | Pengakuan

38 4 0
                                    

21 | Pengakuan

***

Zetta tidak suka menuduh. Apalagi jika buktinya belum terlalu jelas.
Namun, ada pengecualian untuk saat ini. Semalam Zetta tidur lelap setelah Edgar keluar dari kamarnya. Dia ingat betul telah meletakkan ponsel di sisi tempat tidur. Lalu ketika Zetta bangun di pagi hari, ponselnya sudah berpindah tempat ke atas nakas. Artinya ada seseorang yang mengambil ponsel Zetta dan lupa mengembalikan ke tempat yang seharusnya.

Satu nama melintas detik itu juga, tetapi Zetta masih tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau menuduh orang sembarangan. Satu bukti yang mengarah itu membuat Zetta ingin cepat-cepat bertemu dengan Edgar.

"Bi," panggil Zetta. Ia menegakkan punggung dengan sikap santai. Menatap Ana yang tengah menyiapkan bahan membuat keriping kentang. Pesanan Zetta. "Kira-kira Papa atau Mama masuk kamarku kemarin malem nggak?"

Ana bergumam pelan, seperti memikirkan sesuatu. "Jam berapa kira-kira?"

"Kayaknya jam setengah sembilan." Zetta mengetuk-ngetuk konter dapur. "Itu kalau Bibi tahu, kalau nggak, ya nggak apa-apa."

"Kalau jam segitu Bibi udah tidur," kata Ana, ekspresinya berubah tidak enak.

Ada perasaan kecewa saat mendengar pernyataan Ana. Kalau benar begitu, sepertinya Zetta harus memilih jalan lain. Bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Rawan dituding menuduh orang lain sembarangan sebenarnya, tetapi Zetta tidak mempunyai pilihan lain.

"Kenapa memangnya, Neng Zetta?"

Zetta menggeleng. "Nggak apa-apa, Bi. Zetta pamit ke kamar."

"Ini udah ada yang mau matang keripik kentangnya loh," kata Ana sekaligus mencegah Zetta beranjak dari tempat duduknya.

Zetta akhirnya menunggu Ana memberikan bumbu penyedap juga sedikit bubuk cabai di atas kripik kentang. Memasukkannya ke dalam toples dengan telaten.

"Bi, bubuk cabainya yang banyak ...." Zetta kontan menutup mulut, teringat ucapan seseorang. Ana menatapnya, seperti menunggu persetujuan memasukkan bubuk cabai lagi. Namun, Zetta berkata, "Kayaknya udah cukup segitu aja. Makasih, Bi."

Satu jam berlalu, Edgar belum juga pulang. Keripik kentangnya sudah mulai tandas. Zetta beranjak ke kaca jendela kamar, duduk di kusen dengan kedua kaki menjuntai ke lantai. Tidak terbayang kalau sampai Denver menjauhinya gara-gara masalah ini. Mereka baru saja memulai pertemanan. Yang bisa Zetta lakukan adalah berdoa. Untuk saat ini, Zetta berharap Denver tidak mengetahui rumor yang mulai menyebar di kalangan siswa SMA Asanka.

Kalau perlu, Zetta harus mencegah Denver mengetahuinya lebih awal. Setidaknya sampai Zetta menemukan siapa pelaku yang menyebarkan gosip tersebut.

***

Sejak mengenal Zetta, ada hal yang diam-diam selalu mengusik Denver: Zetta selalu datang pagi dan tidak pernah terlambat. Kebiasaan Zetta perlahan merambat kepadanya tanpa dia duga sebelumnya akan terjadi.

Denver datang terlambat karena dia selalu berlama-lama di meja makan bersama Divo, membahas apa pun. Menyenangkan rasanya karena dia bisa lebih dekat dengan Divo. Kesibukan ayahnya di kantor kerap kali membuat keduanya jarang terlibat percakapan. Malam adalah waktu terbaik untuk istirahat. Begitu prinsip mereka.

Denver menyandarkan kepalanya ke tembok kelas. Dia duduk menghadap ke arah papan tulis. Belum tahu mau melakukan apa. Datang jauh lebih pagi dari Zetta sendiri.

"Denver."

Panggilan seseorang membuatnya menoleh, di ambang pintu kelas, Denver menemukan Zetta. Di lengan kanannya tersampir jaket merah marun. Sekolah memang melarang murid-muridnya untuk mengenakan jaket di lingkungan sekolah kecuali kalau sakit.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang