42 | Bukan Sekadar Teman

39 1 0
                                    

42 | Bukan Sekadar Teman

42 | Bukan Sekadar Teman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

Denver masih tak habis pikir. Zetta benar-benar penasaran soal itu?

Pertanyaan dari Zetta tidak terjawab. Terpotong bel yang berdering. Denver merasa lega, setidaknya ia ada alasan untuk mengajak Zetta pergi ke kelas.

Mereka menyusuri koridor, tak hentinya Denver mengusap tengkuk. Canggung luar biasa. Zetta juga tampaknya tidak ingin membahas apa pun.

Denver duduk di samping Mario sesaat kemudian. Cowok itu baru hendak membuka buku catatan ketika Denver meringis. Kakinya tak sengaja terantuk papan melintang yang biasanya dipakai untuk alas kaki. Bisa-bisanya Denver tidak hati-hati ketika Zetta masih berada dalam jangkauan penglihatannya.

Zetta menoleh. Denver cepat-cepat menunduk. Wajahnya ia buat sebiasa mungkin. Datar.

“Ngelamun, ya?” celetuk Mario.

“Sakit, nih.” Denver membungkukkan sedikit punggung, diiringi tangan mengusap kaki yang terbalut sepatu.

“Wajah kamu nggak nunjukkin itu.” Mario menggeleng. Dia memperhatikan Denver dengan pandangan menelisik. “Btw, Runa kok agak beda, ya? Tadi aku nyapa, tapi dia nggak bales sama sekali. Bahkan rasanya aku kayak dicuekin.”

“Runa?” Denver menegakkan punggung secara otomatis. Cewek itu duduk di sebelah Zetta, tangannya mencoret-coret buku bagian belakang. Denver berdeham, ragu-ragu mengatakan, “Dia lagi sakit hati.”

“Gara-gara cowok?” balas Mario. Suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi tegas. “Siapa yang berani bikin dia kayak gitu?”

Denver menghela napas. Tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi, apalagi menghindar seperti kemarin. “Gara-gara aku.”

“Den—”

“Aku yang bikin dia kayak gitu.” Sebelum Mario hendak bersuara lagi, Denver melanjutkan ucapannya. “Protesnya nanti aja, Bu Siska udah di koridor.”

Mario memandang Denver tajam. Tatapannya lebih mengartikan perasaan seperti, percaya tidak percaya dengan ucapannya. Setelah kelas berakhir, Denver yakin Mario tidak akan tinggal diam sampai rasa penasarannya terjawab.

Maka selepas bel istirahat pertama berbunyi, Mario menarik Denver menuju sebuah gudang di ujung bangunan sekolah. Malas-malasan Denver mengikuti, selain karena pikirannya dipenuhi hubungan ayahnya dengan Tante Franda, Denver juga kebingungan dengan tingkah laku Zetta. Cewek itu sulit sekali ditebak.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang