Bab 30 | Alasan
[]
Kehadiran Erlan di tengah percakapan Zetta dengan Denver, berhasil menarik sebuah kesimpulan. Zetta khawatir percakapan berdua Denver kemarin, akan menjadi awal Zetta untuk ‘melindungi’ kakaknya lagi. Zetta merasa jatuh terempas, padahal ia baru saja berbaikan dengan Denver. Mengobrol seperti biasa seolah masalah kemarin tidak pernah terjadi.
“Run, perasaanku nggak enak.” Zetta berkata saat pergantian jam pelajaran. Begitu guru yang bersangkutan pergi dari kelas, ia menyenggol lengan Runa pelan. “Jawab dong!”
Runa menatap Zetta. Lalu mengalihkan pandangan ke arah Denver. Sepertinya Runa masih terganggu dengan pertemuan Zetta dan Denver kemarin. Zetta menyentuh punggung tangan Runa yang berada di meja, mengusap-usapnya dengan gerakan pelan.
“Run—“
“Kalian udah beneran baikan, ya? Syukurlah.” Runa mengulas senyum. Jenis senyuman yang tidak sampai ke mata.
“Kemarin … kita baikan pas hujan sore itu.” Zetta menarik napas berat. “Itu karena ada campur tangan kamu juga, Runa."
“Oh.” Runa menoleh ke depan, berhasil memindahkan telapak tangan Zetta dari punggung tangannya. “Tadi kamu mau bilang apa?"
“Nggak jadi. Lupain aja.” Zetta membuka tas, mengeluarkan buku catatan. Pura-pura sibuk.
Hal yang Zetta takutkan terjadi, ia menyakiti perasaan Runa. Kedekatannya dengan Denver memang membuat Runa terluka. Buktinya sekarang Runa terkesan menjauh. Dibandingkan semua itu, Zetta merasa sesak ketika harus pura-pura tidak mengetahui perasaan Runa kepada Denver. Zetta egois.
Apa setelah ini Zetta harus menjauh dari Denver lagi? Bukan gara-gara Edgar, tetapi sahabatnya sendiri? Memikirkannya saja, ulu hatinya terasa nyeri. Zetta agak kesulitan mengambil napas. Sesak.
Siska, guru bahasa Indonesia, memasuki kelas Zetta yang gaduh. Berbanding terbalik dengan bangku Zetta dan Runa yang diliputi keheningan sejak percakapan tadi berakhir. Siska mengatakan, ada materi yang harus diselesaikan secara berkelompok, masing-masing kelompok berjumlah dua. Bab tentang Meneladani Kehidupan Cerita Pendek.
Selagi menunggu namanya disebut, Zetta memutar-mutar pulpen di tangan. Pulpen tersebut jatuh secara tidak sengaja. Zetta hendak mengambil ke bawah bangku, tetapi sebuah sepatu menginjak telapak tangannya. Zetta mengaduh karena terkejut.
“Ma-maaf, Ta. Aku nggak sengaja.” Runa meraih tangan Zetta, mengusap dan meniup-niup. Tampak panik. Alih-alih kesal, Zetta justru mengulas senyum. Runa tidak berubah sepenuhnya. Runa masih peduli.
“Nggak sakit kok,” bisik Zetta.
“Denver dan Zetta.” Siska mengumumkan.
Kelas hening. Zetta menunjuk dirinya sendiri. “Saya?”
“Iya, kamu. Zetta Kirania.” Siska memberi kode supaya Zetta segera berpindah tempat duduk dengan Mario. Setelah mengambil napas, Zetta akhirnya memeluk buku tugas bahasa Indonesia. Tangannya meraih tempat pensil bercorak marble abu-abu. Hatinya tidak tenang. Zetta melirik Runa sekilas, bahu Runa tampak lunglai.
“Wih, pasangan sekelompok,” celetuk cowok dari barisan paling belakang.
Zetta menatap cowok itu sinis. Terganggu. “Ngomong apa, sih.”
“Cuekin aja kalau itu bikin kamu sakit hati.” Denver berkata setelah Zetta duduk di bangku milik Mario. Sembari menunggu giliran dipanggil, Mario duduk di samping Runa.
“Nggak gitu,” balas Zetta.
“Apa dong? Nggak suka dituduh pasangan, ‘kan, ya?”
Zetta menyikut lengan Denver, menyuruh cowok itu diam. Pergantian tempat duduk itu membuat Zetta merasakan perbedaan yang kentara. Sinar matahari terlintas jelas di bangku mereka. Kontras dengan barisan Zetta yang terhalang tembok. Suasana di sana lebih teduh. Zetta membenarkan posisi, duduk tegap. Lanjut mendengarkan penjelasan singkat dari Siska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...