44 | Pemberian Zetta

34 2 0
                                    

44 | Pemberian Zetta

44 | Pemberian Zetta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

Rasanya Denver ingin kembali menghindar. Menjauh dari ayahnya untuk sesaat. Namun, bayangan Zetta dengan wajah dinginnya tercetak jelas. Teringat tentang kesepakatan mereka dulu; berusaha untuk tidak lagi menghindari sesuatu.

Perlahan kaki Denver melangkah menuruni anak tangga. Tangannya mengacak rambut yang setengah basah, menyisakan aroma mint yang segar. Jika terus-menerus dipikirkan, kepalanya bisa pening. Denver mengambil gelas kosong setibanya di dapur. Membuka kemasan kopi susu instan, meneduhnya dengan air mendidih.

Denver bukan seseorang yang gemar meminum kopi. Ia hanya sedang ingin. Sesekali jika pikirannya kalut. Tak lama, Bi Sasmi menghampiri Denver, mengamati saat Denver menyesap kopinya di meja makan.

“Ayah masih di kamar, Bi?” Denver memutus lamunan Bi Sasmi. Sebagai jawaban, Bi Sasmi menggeleng pelan.

“Tuan Divo pamit pagi-pagi banget, Den.”

Denver terdiam. Ternyata bukan hanya dirinya yang ingin menghindar. Biasanya ayah akan menyempatkan sarapan sebelum pergi bekerja. Walaupun hanya sedikit. Kata ayah, Denver harus melakukan hal yang sama. Bi Sasmi sudah repot-repot memasak, sayang kalau makanan tak sempat dicicipi.

Ponsel Denver yang tergeletak di meja bergetar. Setengah malas, Denver meraihnya.

Zetta: Kalau nggak mau kena omelanku, dateng sekarang juga

Denver mendengus membacanya. Jemari Denver bergerak cepat di atas layar, mengetikkan balasan. Bibirnya membentuk senyum tipis sesaat setelah menekan tombol ‘kirim’.

Denver: Kamu udah ngomel duluan, bahkan sebelum aku sampai

Tak kunjung ada balasan. Selagi menunggu, Denver menuangkan nasi beserta sayur bayam dan ayam goreng. Cowok itu sengaja mengambil dua sayap ayam yang menurutnya banyak terdapat kulit renyah. Sembari menyusun rencana, sepulang sekolah Denver harus membeli usus ayam goreng.

“Lah, ke mana tuh anak?” Denver bergumam, ponselnya tak kunjung berkedip.

“Makan dulu, Den. Nanti bisa main HP lagi.” Bi Sasmi menoleh selagi menyapu di dekat watafel. Sinar matahari pagi menyorot ke ubin, menimbulkan cahaya yang memantul ke sembarang arah.

Denver hendak menurut, tetapi ponselnya sudah menampilkan satu notifikasi pesan. Diam-diam Denver menekan layar, membacanya tanpa sepengetahuan Bi Sasmi yang sudah fokus menyapu ke teras halaman belakang.

Zetta: Zetta belum sarapan, ponselnya ada di meja. Nggak dikunci pula. Aku ‘pinjem’ bentar, sekalian mau tanya sama kamu. Kira-kira kenapa Zetta nyuruh kamu cepet ke sekolah?

Denver: Bentar, ini siapa?

“Dia cowok bukan, sih?” Denver mengernyit.

Ia menghabiskan sarapannya dengan segera. Berpikir ulang sebelum benar-benar meninggalkan rumah, khawatir ada yang ketinggalan. Tiba-tiba Denver terkesiap, buru-buru menaiki anak tangga dengan tas yang tersampir di bahu kanan. Benda itu tersimpan dalam sebuah kotak kecil hitam pekat. Tak pernah sekali pun Denver pakai, baru kali ini ia memiliki keberanian. Ia akan menggunakannya dengan baik nanti.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang