47 | Hari H

79 4 0
                                    

47 | Hari H

47 | Hari H

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

Sepulang sekolah, Denver tak langsung menaiki anak tangga yang mengarah ke kamar tidur. Ia membawa kunci toko bunga dalam genggaman. Sudah berdiri tepat di depan toko milik bunda. Kakinya terpijak di jalan setapak yang membelah pekarangan.

Sepertinya Denver harus bersiap merelakan mimpi yang takkan terwujud. Ayah tetap tidak mengizinkan. Pun pernikahan yang akan digelar sebentar lagi, turut serta membuat mimpinya menjauh.

Denver hanya berpikir jika ayah sudah melupakan bunda sepenuhnya. Membiarkan kenangan di setiap sudut rumah bersama bunda, terlupakan. Seharusnya tidak ada yang perlu disalahkan. Menurut Mario, masalah hati sulit untuk dikendalikan. Hari ini menyukai Zetta, bisa saja nanti berubah lagi. Mungkin itu juga yang terjadi kepada ayah.

Mengingat hal tersebut, Denver mendengus. Sampai hari ini pun, Zetta masih memenuhi sebagian isi pikirannya.

Menarik napas yang terasa tersekat, Denver menggerakan kunci pintu di lubang, sampai terdengar bunyi ‘klik’. Ia mendorong pelan pintu setelah menekan kenop. Bau apak memenuhi indra penghidu. Sebuah meja memanjang tertutupi kain putih di sisi ruangan. Beberapa kursi tampak terbalik di dua meja yang berdampingan. Rak-rak susun tempat menyimpan bunga, kotor oleh debu.

Ayah pernah berujar, bunda adalah sosok yang rajin. Bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan semua keperluan toko bunga, di samping memasak sarapan untuk ayah. Bunda juga tidak suka mengeluh perihal lelah setelah toko tutup.

Bunda hanya berkata, ‘Apa pun hal yang kamu sukai, seberapa letih saat mengerjakannya. Semua lenyap begitu kamu puas dengan hasilnya. Sesederhana, kata: suka’.

Tanpa terasa, lelehan bening mengalir ke pipi. Denver cepat-cepat mengusapnya, saat merasakan seseorang mendekati tempat Denver berdiri. Ayah berdeham sebelum beralih ke sisi Denver.

“Tante Franda ada di depan. Sudah lama beliau ingin ketemu kamu,” kata ayah.

Denver merapatkan bibir. Matanya masih terasa hangat, hatinya sakit. “Ayah enggak usah khawatir. Denver akan coba menerima kehadiran beliau.”

Sekian detik, Denver menangkap sorot lain dari ayahnya. Belum sempat menyimpulkan, langkah Denver tertahan begitu ayah membuka suara.

“Ayah enggak bisa melupakan Bunda kamu, sampai sekarang,” katanya.

“Tapi kenapa Ayah menikah lagi?”

“Kamu perlu sosok ibu, Denver.” Ayah berkata tegas. “Ini semua demi kamu, bukan semata-mata keinginan Ayah.”

Denver tidak merepons. Kakinya melewati pintu masuk toko. Sekeras apa pun ia menolak, keputusan ayahnya sudah bulat. Pernikahan itu tetap akan berlangsung.

Di pekarangan dekat pagar, Tante Franda melambai pada Denver, tersenyum cerah. Kedua tangannya menggenggam tas berukuran sedang, tanpa corak apa pun. Beliau mengenakan gamis merah marun dengan jilbab berwarna cokelat, senada dengan hak tingginya.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang