Bab 32 | Ada Rasa
[]
“Denver duduk, kek. Pusing aku lihat kamu dari tadi. Bolak-balik, bolak-balik mulu.”
“Nggak usah dilihat,” balas Denver agak ketus.
Mario memilih tidak menjawab. Denver menarik napas berat, teringat bunga-bunganya yang hancur. Ucapan Sasmi kemarin malam terngiang, katanya Sasmi tidak tahu siapa orang yang menyelinap ke halaman belakang rumah, lalu menghancurkan tanaman bunga milik Denver. Sudah pasti ulah manusia, tidak mungkin ayam bisa membuka kunci. Yang menjadi pertanyaan, siapa orang itu?
Tunggu … apa Divo yang melakukannya?
Denver mengerang. Tahu-tahu Mario sudah berlari kecil ke arahnya dan memegangi dahi Denver.
“Denver jangan gini dong, serem banget kamu.” Mario bergidik. “Aku tanya, kamu ada masalah apa?”
“Tanaman bunga yang aku beli hancur semua, Yo.”
Mendengar itu, Mario terbelalak. Reaksi yang sama ketika Denver mendapati tanaman bunganya hancur. Dadanya masih terasa sesak sampai sekarang. Uang tabungan Denver lenyap dalam sekejap, ia bahkan mengakui kalau dirinya tidak mempunyai uang simpanan lain. Artinya Denver tidak bisa membeli bunga baru dalam waktu dekat.
Denver bergumam, “Aku nggak tahu itu ulah siapa. Kalau bener ulah Ayah ….”
“Nggak mungkin! Om Divo nggak mungkin ngelakuin itu.” Mario menepuk-nepuk pundak Denver. “Percaya, deh.”
“Aku nggak nuduh, tapi yang tahu kunci toko bunga cuma Ayah.”
“Kamu sendiri nggak tahu gitu?”
“Tahu,” bisik Denver kesal. “Ya masa aku ngehancurin bunga milikku sendiri, sih.”
Mario meringis. Denver berjalan menuju kursi milik Zetta yang kosong. Sang pemilik tidak berada di kelas, mungkin ada di perpustakaan. Denver menelungkupkan kepala di atas meja, menutup kedua kelopak matanya. Membiarkan angin dari jendela menerpa wajah, dingin. Sangat kontras dengan dahi Denver yang sejak semalam terasa hangat. Denver menekan pelan lehernya menggunakan punggung tangan. Apa dia demam?
Suara orang-orang mengobrol di koridor mulai terdengar. Denver tentu masih ingat, sebagian teman-teman cowoknya ada yang menjaga jarak. Menganggap Denver cowok culun karena ia menyukai bunga. Menurut Denver, mereka masih dalam batas wajar. Berbeda dengan Erlan atau Risna yang terang-terangan menunjukkan kebencian kepada Denver. Terserah, ia tidak mau membuang waktu untuk mereka berdua. Pokoknya Denver harus mencari pelaku utama yang menyebabkan tanaman bunganya hancur.
“Denver,” panggil seseorang.
Denver mendengak dan mendapati Zetta berdiri di sisi meja yang Denver duduki. Cewek itu bersedekap. Denver menoleh ke kursi di samping, Runa sudah duduk di sana sambil mengangkat alis.
“Run, boleh tukeran tempat duduk? Kamu duduk sama Mario,” kata Denver.
“Hah?” Runa mengerjap. “Nggak, ah. Sana, balik ke tempat kamu.”
“Sekali ini aja. Please ….” Denver berkata dengan nada lembut, setengah memelas. Berharap Runa mau menuruti perkataannya. “Ya? Ya?”
Runa belum menjawab, bibirnya masih terkatup rapat. Tampak enggan. Namun, wajahnya berubah setelah Denver memejam dan meringis. Denver ingat, ia belum sempat sarapan. Memegangi perut, Denver menegakkan punggung. Berniat ke kantin. Belum sempat kakinya melewati meja, Runa sudah menarik lengannya untuk kembali duduk. Denver semakin terkejut begitu Runa menempelkan telapak tangan ke dahi Denver.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...