31 | Lenyapnya Harapan

52 5 0
                                    

Bab 31 | Lenyapnya Harapan

[]

“Denver.”

Cowok itu menghentikan langkah di sisi lapangan olahraga. Zetta dan Denver saling berhadap-hadapan. Mungkin bagi Denver, perkataannya tadi tidak menimbulkan kesan apa pun. Tanpa pesan. Spontan. Namun, Zetta tidak bisa tinggal diam ketika debaran jantungnya terpompa cepat. Pipinya bahkan sempat terasa memanas.

Paling menyebalkan, Denver seolah hanya sedang mengatakan makanan favoritnya. Ringan. Seakan tidak akan berefek bagi detak jantung Zetta.

“Kenapa, Ta?” tanya Denver. “Ada yang ketinggalan?”

“Nggak ada. Aku cuma mau bilang, sebelum ngomong pikir-pikir dulu dampaknya buat orang lain.”

“Hah? Aku ada nyakitin perasaan kamu?” Denver melangkah mendekat, berjarak sekitar dua jengkal. “Kapan?”

Zetta memalingkan wajah ke sisi kanan, memperhatikan anak-anak cowok yang tengah menggiring bola. Sekaligus mengabaikan perkatan Denver tadi, mana mungkin ia harus menjawabnya sekarang. Apa kata cowok itu tadi? Asal kamu nggak menjauh, itu cukup dijadikan alasan? Zetta menggeleng-geleng. Pikirkan hal lain coba, jangan Denver.

“Pipi kamu merah!” kata Denver.

“Pipiku nggak merah. Jangan sok tahu,” balas Zetta tajam. Ia berjalan hendak melewati tubuh Denver, tetapi cowok itu mengadang jalan. Tidak menyerah, Zetta bergerak ke sisi kanan. Denver ikut bergeser ke arah yang sama. Begitu pula saat Zetta mengambil arah kiri, Denver tidak tinggal diam. Cowok itu terus-menerus menghalangi jalannya.

“Pipi kamu merah loh, Ta. Pake banget. Aku yang lihat sendiri,” tandas Denver lagi.

“Aku nggak mau bahas itu.”

“Oke, oke.” Denver mengangkat tangan, bersikap mengalah. Denver kemudian melirik ke belakang, mengarah ke kelas Erlan. Hanya sebentar. Di tengah keriuhan beberapa siswa yang sibuk bermain sepak bola. Denver membuka suara dengan nada serius. “Kamu ada hubungan apa sama Erlan? Kenapa tadi ke kelas dia?”

Zetta menelan saliva, tidak tahu harus mengatakan apa. Bimbang. Zetta tidak mau mengambil risiko Denver akan semakin membencinya. Hubungan mereka baru saja membaik beberapa hari ini. Tidak lama, Zetta memegangi perut, wajahnya dibuat memelas.

“Aku laper.”

Denver mengangkat alis. “Jawab dulu.”

“Apa pentingnya buat kamu?”

Ditanya seperti itu, Denver bungkam. Zetta akhirnya menarik tangan Denver, mengamati jam tangan di pergelangan cowok itu.

“Nggak ada banyak waktu, nih. Aku mau ke kantin.” Zetta mengedikkan dagu, memberi kode kalau mereka harus cepat-cepat pergi. “Ngebakso mau?”

“Terserah, deh,” kata Denver agak malas. “Ayo.”

Suasana kantin tidak seramai seperti saat jam istirahat baru pertama kali berdering. Ada bagusnya. Mengingat Zetta tidak perlu berdesak-desakan sambil menyebutkan pesanan seperti biasa. Berkeringat karena suasana yang ramai dan tidak kondusif.

Zetta melirik Denver, sepanjang perjalanan menuju ke kantin, Denver lebih banyak diam. Bibir Denver sedikit mengercut dengan raut kesal. Zetta tidak mungkin lupa dengan perkataannya tadi, bisa jadi Denver memang kesal karena Zetta tidak menjawab perihal Erlan.

Namun, apa pentingnya cowok itu tahu?

Tepat ketika Zetta hendak menyimpan mangkuk di meja, seseorang menabrak sikutnya pelan. Menyebabkan mangkuk bergeser hingga kuah batagor berhamburan di atas meja, sisanya menyentuh lantai kantin. Denver cepat-cepat menghampiri Zetta, meraih sikut cewek itu. Memeriksa dengan saksama.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang