29 | Rencana Denver

40 4 0
                                    

Bab 29 | Rencana Denver

***

Ponsel Denver bergetar secara beruntun. Tangannya terarah ke nakas. Denver belum sepenuhnya membuka mata, ia masih mengantuk ketika melihat nama Mario tertera di layar. Tiga pesan belum terbaca. Tidak biasanya cowok itu menghubungi Denver sepagi ini, jam setengah lima pagi.

Mario: Denver, kata Runa kamu diganggu kakak kelas kemarin?

Mario: Siapa mereka? Apa aku kenal?

Mario: Pastiin dateng pagi, ya. Kita belajar bareng-bareng.

Mata Denver membesar. Tidak mempercayai pesan terakhir yang ia baca. Denver terduduk setelah menendang selimut yang menyelimuti kaki kanannya.

Denver: Heh, ngigo, ya?

Mario membalas lima menit kemudian. Isi pesannya sukses membuat Denver merasa dia tidak mengenali Mario. Cowok itu tidak berbeda jauh dengan Denver, ke sekolah hanya mendengarkan materi dengan malas-malasan. Tidak ada keinginan untuk lebih baik lagi pada setiap mata pelajaran. Yang paling parah, mereka sama-sama memiliki nilai rendah di kelas.

Mario: Sebentar lagi kita bakalan kelas tiga loh, Den. Masa iya mau males terus?

Denver: Iya sih, aku curiga nih, kamu lagi patah hati

Mario tidak kunjung membalas pesannya. Denver menggeser tubuh hingga berada di tepi tempat tidur, kakinya sudah menapaki lantai yang terasa dingin. Denver terdiam sejenak, mengingat-ingat siapa kira-kira seseorang yang bisa mengubah Mario dalam sekejap. Denver tidak yakin sebenarnya, bisa jadi Mario memang berubah atas dasar keinginan sendiri. Tidak ada campur tangan orang lain. Memikirkannya saja sudah membuat Denver pening. Dia tidak suka menerka-nerka.

Setelah selesai salat subuh, Denver bergegas mandi dan mengenakan seragam. Bersiap-siap pergi sekolah dan mencecar Mario dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di benak.

“Pagi, Bi.” Denver menyapa Sasmi di dapur. Wanita itu tengah menyapu ruangan dapur ketika Denver duduk di meja makan.

“Den, ini masih jam setengah enam, kok udah rapi aja?” tanya Sasmi.

“Mau jadi anak rajin.”

“Beneran itu teh?” Sasmi memekik, kegirangan sendiri. Denver tergelak detik itu juga.

“Apa Bibi beneran percaya sama aku?”

“Nggaklah, takut musyrik Bibi mah.” Sasmi menyengir.

Denver bergeming. Mengetuk-ngetukkan jari di meja makan, lalu duduk dengan tegak. Ia harus mengatakan sesuatu kepada Sasmi sekarang juga, sebelum berangkat ke sekolah. Namun, Denver khawatir Divo tiba-tiba muncul di pintu masuk dapur dan mendengar percakapannya dengan Bi Sasmi nanti. Karena itu, Denver menghampiri Sasmi, menanggalkan tas sekolah yang tadinya tersampir di bahu dan menyimpannya di meja makan.

“Bi,” bisiknya.

Sasmi menunjukkan ekspresi serius. “Kenapa, Den?”

Denver menunduk, membungkukkan punggungnya hingga bibirnya dekat dengan telinga Sasmi. Matanya awas menatap sekitar, mewaspadai kehadiran Divo.

“Bibi bisa bantu aku?” Suara Denver serupa bisikan.

“Bantu apa?”

Denver mengatakan apa yang dia pikirkan lamat-lamat. Berharap Sasmi akan mengerti. Responsnya di luar dugaan.

Sasmi mengangkat jempol sambil berkata, “Siap, Den!”

“Itu aja. Makasih sebelumnya, Bi." Punggung Denver kembali menegap. "Jangan lupa.”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang