22 | Tuduhan Semata?
***
Tidak semua pemikiran harus diutarakan, terutama kalau itu akan membuat hubungan memburuk. Denver memilih jalan tersebut. Ia duduk terdiam dengan kedua lengan bertumpu di kedua paha, tatapannya mengarah ke kubik. Di teras gudang yang terdapat di halaman belakang sekolah, Mario dan Denver sama-sama menyandarkan punggung di dinding. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Zetta tidak di sini karena Mario ingin berbicara berdua Denver. Kali pertama Denver mendapati Mario yang tidak banyak bersuara, atau mengeluarkan pendapat sesuai keinginannya. Sementara lidah Denver kelu, ia melupakan sejenak soal tuduhan cewek tadi beserta kegaduhan yang tercipta setelahnya. Ada yang jauh lebih membuat Denver khawatir, yaitu persahabatan dengan Mario karena ia tidak jujur sejak awal.
“Jadi itu beneran?” Mario berbalik setelah lama memandangi deretan rumput liar di sudut sekolah.
“Iya.” Denver menarik napas. “Aku memang suka bunga. Bahkan lebih suka bunga ketimbang taekwondo sendiri. Nggak umum emang.”
“Den.” Mario melangkah mendekati tempat Denver duduk, di depan bangunan gudang yang tidak terawat. Lantainya kotor oleh debu juga tanah kering yang tersapu angin sehabis hujan. Mario berdiri tepat di hadapan Denver. “Siapa aja yang tahu?”
“Zetta doang,” balas Denver agak gusar. “Kamu boleh pukul aku sekarang. Jangan diem mulu. Dari tadi kamu kelihatan serem tahu.”
Mario terkekeh kecil. Hanya sebentar, tetapi berhasil membuat Denver mengulas senyuman.
“Aku nggak marah, cuma kecewa. Kenapa aku harus tahu dari orang lain? Semacam itu,” tutur Mario.
Denver meninggalkan kursi tempat dia duduk tadi. Menepuk-nepuk pelan punggung Mario. Ada rasa terima kasih yang coba Denver salurkan. Cowok ini satu-satunya sahabat yang Denver miliki, sempat berpikir akan kehilangan Mario gara-gara masalah ini.
“Yo, waktu aku ke rumah kamu dulu … aku sempet mikir mau bilang masalah ini, tapi nggak jadi. Aku pengecut banget karena khawatir kalau akan dijauhi semua orang di sekolah. Gengsi. Lucunya sekarang Denver terkenal jadi cowok cupu.” Denver terkekeh hambar.
“Nggak lucu.” Mario menggeleng-geleng. “Lagian gengsi gara-gara apa, sih?”
“Bisa aja nanti aku tertarik sama cewek di sekolah ini. Terus kalau dia tahu aku suka bunga, mungkin aja dia bakalan jauhin aku.”
Mario mencibir, tetapi ada ekspresi geli di sana. “Hei, sejak kapan Denver mikirin cewek? Langka banget ini, sih.”
“Nggak usah ngeselin. Aku serius.”
“Aku sempet lihat, tadi pagi kamu perhatiin Zetta. Jangan-jangan dia cewek yang kamu maksud?”
“Apaan sih.” Denver mendengking. “Itu gara-gara aku mikirin isi chat kamu yang bilang harus peka sama perasaan orang!”
Sejak perkataannya itu, Mario segera merangkulkan lengannya di belakang leher Denver. Sekaligus menuntun Denver untuk pergi dari area halaman belakang sekolah. Bagi Denver, keakraban ini membuatnya menyimpulkan sendiri kalau Mario telah memaafkannya.
Keduanya sepakat pergi ke kantin, walaupun jam istirahat pertama sepertinya akan segera berakhir. Tidak apa. Mereka bisa berlari sepanjang koridor sebelum guru tiba di kelas, sembari mengantongi roti isi cokelat. Memakannya sebelum guru tiba dengan kecepatan yang tidak main-main.
“Jadi, apa rencana kamu selanjutnya setelah mereka tahu?” tanya Mario.
“Cari pelakunya dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...