03 | Saling Menghindar

192 15 6
                                    

03 | Saling Menghindar

***

Tidak tertebak. Misterius. Penyendiri.

Tiga kata yang terlintas sejak Denver kakinya pergi meninggalkan Zetta kemarin. Tentunya hanya dugaan Denver yang tidak berdasar. Tebakan semata. Pandangan pertama sejak Denver menilai seseorang, belum termasuk kalau Denver mengenal Zetta lebih dekat.

Seharian ini, tidak terhitung berapa banyak Denver mengamati punggung Zetta lurus-lurus. Mengingat selama satu tahun ke depan, dia akan sekelas dengan Zetta. Punggung itu menjauh, semakin mendekati ambang pintu kelas. Lalu terutupi punggung anak-anak yang lain karena bel berbunyi. Pukul 15.05.

Baru saja Denver berdiri ketika Mario merangkul bahunya. Suara obrolan para siswa SMA Asanka seperti dengungan sekumpulan lebah. Berisik.

“Langsung pulang, Den?” tanya Mario ketika keduanya telah sampai di lahan parkir.

“Iya, kayaknya,” balas Denver.

Keraguan dalam suara cowok itu, membuat Mario mengurungkan niatnya menghampiri motornya sendiri. “Kenapa, sih? Kayaknya kamu dari tadi banyak ngelamun, kurang fokus—“

“Ada rekomendasi toko bunga, nggak? Serius nanya.”

Mario terdiam sejenak. “Ada apa tiba-tiba nanyain toko bunga?”

“Ya, buat apa kek.” Denver mendelik bercanda. “Cukup kasih tahu doang, Yo. Susah banget, sih.”

Dua menit kemudian, Denver melajukan motornya di bawah langit sore. Ada bias cahaya oranye membayangi kaca spion Denver. Tadi Mario sempat curiga, cowok itu bahkan mengira Denver memiliki seseorang yang dia suka. Beruntung Denver bisa menghindar. Berdalih kalau waktu semakin sore, juga mengatakan kalau Mario harus segera pulang supaya Mario lepas dari chat beruntun ibunya sendiri.

Ibu.

Denver menarik napas dalam. Memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya turun dari motor. Meninggalkan motor putihnya yang telah terparkir di pelataran salah satu toko bunga, hasil dari rekomendasi Mario tadi. Teman sebangkunya itu hanya tahu satu toko bunga karena sering melewatinya saat pergi ke sekolah. Letaknya tidak begitu jauh dari rumah Mario, bahkan bisa di tempuh dengan berjalan kaki.

Hal pertama yang tertangkap kali pertama saat Denver melewati ambang pintu adalah aroma bunga. Saling bercampur baur, tetapi tidak lantas membuat Denver pusing. Matanya menatap sekitar, setiap sudut ruangan dipenuhi berbagai bunga: anggrek bulan, mawar, melati, termasuk bunga potong dan buket. Kasir terletak di samping pintu masuk. Mungkin bagi Zetta—si Kutu Buku—pengalaman ini seperti memasuki area toko buku diselingi aroma buku yang kadang membuat candu.

“Selamat sore.” Sapaan itu terdengar. Denver menoleh dan mendapati seorang wanita muda, usianya mungkin sekitar dua puluh tahun. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Setangkai mawar merah mungkin, Kak?”

“Pilihan yang tepat nih. Pasti buat pacarnya, ya?” tanya wanita itu. Dari tagname-nya tertera nama Almira.

“Saya nggak punya pacar.” Denver mengulas senyum singkat saat Almira menunjukkan sikap tidak enak. “Sebenernya buat pajangan di rumah.”

Almira mengangguk-angguk, tidak mengatakan apa pun lagi selain ucapan 'terima kasih' karena Denver telah berkunjung.

Misi pertamanya akan di mulai hari ini.

***

“Denver, bantuin Ayah sini!”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang