04 | Kode
***
Seperti apa kata Zetta kemarin, Denver memang pengecut.
Namun, kenyataanya cewek itu belum mengerti kenapa Denver memilih menjauh dari rumah. Hal paling buruk, Denver pun tidak tahu kenapa Zetta sampai ikut-ikutan menghindari sesuatu. Setidaknya Denver masih butuh waktu sedikit lagi untuk menjauh sampai perasaannya membaik, sampai dia bisa sedikit melupakan pertengkarannya dengan sang ayah.
Jalanan kawasan rumah Mario terbilang lenggang. Hanya berbekal pernyataan ‘rumah Mario tidak jauh dari taman’, dia bersikeras menyusuri jalan. Tanpa petunjuk apa pun. Ponselnya yang berada di saku jaket tiba-tiba bergetar. Denver akhirnya menepi, tahu kalau orang itu tidak akan menyerah menghubunginya.
“Lagi di mana?” Seruan di sebarang sana refleks membuat Denver menjauhkan ponsel dari telinga. Dia memandang heran seolah Mario ada di depannya.
“Kenapa?”
Mario mengesah. “Ayah kamu nyariin, beliau sampai chat aku.”
Denver mengangguk, tidak fokus pada pernyataan Mario. Ini pertama kalinya Divo mengirimi Mario pesan. Juga pertama kali Denver pergi dari rumah dan bertengkar dengan Divo.
“Kapan Ayah punya nomor kamu?”
“Kelas sepuluh semester dua, waktu pengambilan raport.” Mario bergumam, seperti mengingat-ingat sesuatu. “Aku kenal Om Divo karena pernah ngembaliin dompetnya yang jatuh di warung depan sekolah. Kita ngobrol banyak di situ. Terus beliau kenalin kamu ke aku—“
“Oh!” Denver menjentikkan jarinya. “Terus Ayah bilang, ‘Titip Denver, ya. Kalau ada masalah di sekolah laporin ke Om. Biar Om yang jewer kupingnya’, kurang lebih gitu kata Ayah.”
“Nah, dari situ kita tukeran nomor telepon.” Mario tergelak, mungkin mengira ingatannya masih berfungsi. Denver terdiam lama setelahnya. “Den? Kamu masih di sana, ‘kan? Hallo?”
“Masih.” Denver bergumam sejenak. “Yo, kasih tahu alamat rumah kamu.”
“Kamu mau kabur ke sini?!”
Denver berjengit di atas motornya. Dia mengelus dada setelah mengatakan, “Kasih tahu cepet.”
“Aku aja yang ke situ. Kamu lagi di mana?”
Denver memindai sekeliling kawasan tempat dia berada. Beberapa ruko memadati bagian kiri jalan, rata-rata menjual makanan ringan juga buah-buahan. Langit di atasnya sudah lumayan gelap, udara dingin menyapa pergelangan tangan. Dia menyebutkan ciri-ciri tempatnya berada, beserta nama jalan. Mario hanya mengatakan, 'oke, aku ke ke sana'.
Ponselnya sudah redup, panggilan terputus. Keadaan hening. Hanya satu dua kendaraan yang melintas. Denver membuat bibirnya menjadi garis lurus tipis, mulai bosan menunggu. Tidak lama, Mario datang dari salah satu gang tidak jauh dari ruko. Cowok itu berlari, membuat jaketnya yang tidak diritsleting berayun tertiup angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...