46 | Maaf
[]
Denver: Besok bisa dateng lebih awal ke sekolah?
Sudah lebih dari sepuluh menit sejak Zetta menerima pesan itu. Memberikan tanda ‘read’ untuk Denver. Sepulang dari makam bundanya Denver, mereka tak lagi saling berbicara. Wajah cowok itu datar, seakan air matanya tak menetes di depan pusara. Meninggalkan desiran sesak di hati Zetta.
“Ternyata Denver enggak sekuat yang selalu dia perlihatkan.” Zetta bergumam. Ponsel yang tadinya berada dalam genggaman, kini beralih ke nakas. Bersisian dengan lampu tidur bersorot warm white.
Zetta baru selesai meninjau ulang materi bahasa Indonesia. Menandaskan secangkir kopi susu dan bolu kukus buatan Bi Ana. Sekarang tenggorokannya terasa kering. Cewek itu menuju dapur dan meneguk seperempat air putih. Suasana rumah sepi sekali, mengingat sudah pukul sembilan malam. Samar-samar hanya terdengar suara berisik dari ponsel Kak Edgar, sudah pasti asyik bermain game online.
Sejujurnya, ada suatu hal yang harus Zetta katakan kepada sang kakak. Sudah sangat lama pemikiran itu bergumul di kepala. Hanya saja, dirinya belum menemukan saat yang tepat. Zetta mencoba menunggu hingga waktu berlalu sekitar lima belas menit. Bosan. Zetta pergi ke garasi dan menyalakan lampu. Dua mobil menempati ruangan itu, milik sang papa dan kakaknya.
Tenggelam dalam lamunan, Zetta tersentak begitu menangkap suara kenop pintu ditekan di kejauhan. Bersamaan dengan heningnya ponsel Kak Edgar. Ia bersedekap, berjalan lebih dekat ke sisi mobil. Sengaja menimbulkan derap langkah berisik dari sandal tidurnya. Berharap sang kakak datang menghampiri.
“Zetta.” Kak Edgar menyapa. “Belum tidur?”
“Seperti kelihatannya,” balas Zetta sembari menoleh.
Kak Edgar memandangnya bingung. Dia berderap ke celah antara mobilnya dan dinding garasi. Menyandarkan punggung tegapnya di pintu mobil. Seolah mengetahui jika Zetta ingin membicarakan sesuatu.
“Apa kali ini?” tanyanya.
“Kakak enggak merasa bersalah ke Denver?” Zetta berkata tenang.
Dalam situasi seperti ini, Zetta tak ingin meledak. Khawatir kalau penghuni rumah, mama, papa, atau Bi Ana terjaga. Selama ini, Zetta dan Kak Edgar jarang sekali bercengkerama. Hanya saat Denver hadir, mereka selalu memiliki topik untuk dibahas. Rasanya lebih seperti perdebatan, alih-alih percakapan biasa.
“Denver lagi?” Kak Edgar terkekeh, miris. “Kamu tahu, satu sisi aku bersyukur gara-gara Denver … kita jadi sering ngobrol. Sebelumnya, kamu lebih sering diam, Ta.”
“Aku tahu itu.” Zetta menghela napas. Terkadang dirinya ingin memiliki hubungan baik dengan sang kakak. Namun, ego Zetta lebih tinggi. Hubungan mereka tidak bisa dibilang dekat. Jujur saja, Zetta bahkan ingin berbaikan. Mungkin setelah kakaknya menuruti keinginan Zetta satu ini. “Tolong minta maaf ke Denver.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...