15 | Hari yang Terlupakan

65 5 16
                                    

15 | Hari yang Terlupakan

***

Sejak duduk di kursi meja makan, tangan Denver berkeringat dingin. Padahal Divo belum hadir di dekatnya, masih berada di lantai atas. Biasanya ada rutinitas seminggu sekali, ayahnya akan menyesap kopi di balkon kamar Denver sembari memandang ke depan yang menyuguhkan perumahan kompleks. Hawa dingin dan matahari pagi yang merangkak muncul selalu jadi spot menarik. Ayahnya mungkin jenuh dengan urusan pekerjaan.

Denver pun diam-diam suka melakukan hal yang sama, bedanya Denver meminum susu cokelat hangat. Sesekali dia melakukannya jika tidak ada waktu untuk pergi ke taman bunga. Ternyata memang semenyenangkan itu, banyak yang Denver pikirkan, terutama soal cita-cita atau mimpinya.

Cowok itu terenyak ketika terdengar suara langkah kaki menuruni tangga lengkap dengan omelan ayahnya.
"Denver, kalau ada baju kotor tuh simpen di keranjang. Repot misahinnya nanti Bi Sasmi."

Selama beberapa saat Denver menelisik wajah Divo, kening ayahnya berkerut. Mungkin bagi sebagian orang, omelan orang tua terkadang memang sedikit menyebalkan. Namun, Denver menyukainya. Perhatian Divo terlalu sayang untuk dilewatkan karena Denver tidak bisa mendapat omelan apa pun dari sang ibu.

"Denver buru-buru, jadi suka lupa," sahut Denver.

Ayah menggeleng pelan. "Tadi solat subuh telat nggak?"

"Tepat pas azan, Ayah. Denver langsung ke masjid tadi. Ayah tahu sendiri."

Gelak tawa ayahnya terdengar, Denver mengusap-usap kedua tangannya yang masih berkeringat di bawah meja makan. Ternyata obrolannya dengan Divo beberapa hari lalu tidak menimbulkan kesan apa pun. Ayah memang sempat mematung saat itu, tidak sanggup berkata-kata saat Denver membicarakan Mario dan soal pentingnya berkata jujur. Niat awalnya sirna, Denver tidak dapat mengorek satu info apa pun perihal hubungan Divo dengan wanita itu. Lalu hari berikutnya, berjalan seperti biasa. Seperti hari ini.

Dia harus menyiapkan kata-kata lagi. Lupakan soal wanita itu dan ayahnya. Ada hal yang jauh lebih penting yang akan Denver katakan nantinya. Sarapan pagi telah selesai, Denver mencuci tangan saat ayahnya bersiap memanaskan mesin mobil di garasi. Sepuluh menit berlalu, Denver menyandang tas dan berlari ke pintu utama rumah setelah mencium punggung tangan Sasmi dan berpamitan.

"Ayah," panggil Denver di ambang pintu. "Aku boleh bicara sebentar?"

Di teras rumah, Divo menghentikan langkah sekaligus mengurungkan niatnya untuk pergi ke mobil. Denver yang tadinya berdiri di dekat pintu utama, melangkah dan berdiri di depan tubuh tinggi sang ayah.

"Bicara soal apa?" tanya Divo bingung. Nadanya terdengar kaku.

Sebelum menjawab, Denver mengembuskan napasnya. Mencari ketenangan karena masih ada perasaan ragu yang menggelayuti, tetapi Denver dihadapkan pada kenyataan. Dia tidak bisa menghindar setelah kesepakannya berdua Zetta. Dia juga tidak bisa menampik kalau, mungkin, Divo telah memiliki seorang wanita yang akan segera mengganti sosok Sekar. Sementara itu, hatinya mulai disesaki perasaan antara gusar dan tidak rela.

Matahari pagi belum sepenuhnya muncul saat Denver melirik toko bunga di samping rumah. "Aku berniat membuka lagi toko bunga milik Bunda."

Ekspresi terkejut sang ayah membuat Denver menggigit bagian dalam pipinya. Dia tahu Divo akan menolak dengan keras, setidaknya Denver sudah menepati janji kepada Zetta, juga mengatakan hal yang begitu diinginkannya supaya Divo tidak lantas melupakan Sekar.

"Jangan becanda, Denver," kata Divo pelan.

"Aku nggak becanda." Denver menatap mata Divo. Menunjukkan raut wajah seriusnya.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang