27 | Menemukan Jawaban
***
Tiga orang cowok mengadang langkah Denver. Mereka menatapnya sengit. Jelas disengaja. Tidak ambil pusing, Denver beralih ke sisi kanan, tetapi cowok yang bertubuh tinggi besar kembali memblokir jalan. Denver menatap ketiganya satu per satu. Dia merasa tidak mengenali mereka, wajah asing. Tidak mungkin adik kelas atau teman seangkatan. Kalau benar seangkatan, setidaknya Denver pernah melihat mereka walaupun tidak tahu nama.
“Kenapa, Kak?” tanyanya kemudian.
“Dia ternyata tahu kita Kakak kelas,” timpal cowok yang memiliki sedikit kumis tipis berambut cepak.
“Nggak penting,” kata cowok yang berdiri di tengah-tengah, layaknya pemimpin geng. “Arsalan Denver ….” Dia membaca papan nama Denver, setengah membungkuk.
Denver memundurkan sedikit punggungnya. “Maaf, Kakak ada urusan apa? Kalau nggak begitu penting, aku pergi sekarang.”
“Songong banget,” balas Erlan, cowok yang berdiri di tengah-tengah. Denver sempat membaca papan namanya.
“Aku harus ke toko bunga—“
Belum selesai berbicara, mereka tergelak. Menanggapi perkataan Denver tadi. Ia mengerti sekarang, ketiganya menghampiri Denver karena masalah bunga. Hari ini benar-benar membuat Denver gerah. Ia malas berdebat, juga tidak mau membuang waktu menanggapi orang-orang yang membencinya. Denver sudah memutuskan, perkataannya kepada kedua cewek di jam istirahat tadi adalah kali terakhir.
“Kenapa sih, kamu sesuka itu sama bunga? Hm?”
Pertanyaan Erlan berhasil membuat Denver berdecak pelan. “Bukan urusan Kakak, sih. Jadi, nggak penting juga Kakak tahu.”
Wajah Erlan berubah. Ada kemarahan yang tersalur. Denver baru bersiap-siap melangkah melewati ketiganya saat telapak tangan Erlan menyentuh bahu kiri Denver. Pertanda kalau Denver belum diizinkan pergi. Memejamkan mata sesaat, Denver akhirnya kembali berhadapan, menatap mata mereka satu per satu.
“Jangan pergi dulu dong. Kita cuma mau ngasih tahu sesuatu,” kata cowok berambut cepak. “Sebenarnya, banyak temen cewek angkatan kita yang naksir kamu. Ganteng katanya, jago beladiri taekwondo pula. Terus akhir-akhir ini mereka bilang, ‘Denver bener-bener di luar ekspektasi. Dia cowok, tapi suka bunga bahkan hobi nanam bunga’.”
“Jadi?” Denver mengangkat alis. “Apa Kakak mau aku komen soal gaya bercerita Kakak tadi?”
“Jangan ngeledek, ya. Itu bukan cerita yang aku karang sendiri!”
Denver mengangguk-angguk dengan wajah pura-pura paham. “Makasih udah ngasih tahu, Kak. Sayangnya, cerita tadi nggak bikin aku kaget.”
“Btw, dia kalem banget. Nggak kepancing,” bisik cowok bertubuh gempal kepada Erlan. Detik itu juga, Erlan menyikut perut temannya itu.
Denver menunduk, melihat jam di pergelangan tangan kanan. Pukul setengah empat tepat. Beberapa menit berlalu begitu saja, hanya untuk menghadapi ketiga cowok ini. Langit dipenuhi gumpalan awan hitam, seperti akan segera turun hujan. Denver baru menyadari sesuatu, tempat ini dekat dengan kolam ikan di sudut area sekolah. Tempat Denver dan Zetta terlibat perseteruan sengit, sampai-sampai keduanya saling menjauh satu sama lain. Mengabaikan masalah hati, pun dengan perasaan masing-masing.
“Bukan kalem, mulut dia ngeselin tahu!” Erlan menyahut. Mulai tersulut emosi, apalagi ketika Denver mengangkat alis dengan ekspresi santai.
“Aku emang ngeselin, Kak. Gitu kata temen-temen,” katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Novela JuvenilTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...