13 | Seporsi Bakso
***
Sejak kepergian Sekar, ini kali pertama Divo terlihat bersama seorang wanita.
Melihat kebersamaan mereka tepat di depan matanya, ada sebagian dari diri Denver yang menolak kehadiran wanita itu. Dia tidak bisa membayangkan kalau akhirnya Divo melupakan sosok Sekar. Denver tidak lupa bagaimana ekspresi ayahnya dulu, saat bercerita tentang Sekar, dua tahun yang lalu.
“Dia cinta pertama Ayah di masa SMP. Di kelas tujuh, kita pernah sekelas, tapi jarang banget terlibat percakapan. Ayah yang malu kalau deketin, nggak percaya diri karena nilai Ayah yang pas-pasan. Saat itu, Ayah selalu kagum dengan kepintarannya, juara satu terus.”
Denver menipiskan bibirnya. Diam-diam menyembunyikan tawanya. “Jadi, apa Ayah minder?”
“Ayah nggak bilang gitu.”
“Terus apa namanya?” Denver menaikkan sebelah alisnya beberapa kali. Wajah Divo sontak memerah, tidak sanggup berkata-kata. “Tapi, gimana awalnya Bunda tahu perasaan Ayah?”
Ayah berdeham, membenarkan posisi duduk. Punggungnya menegap, siap bercerita. “Kuliah semester dua, kita ketemu lagi. Satu kampus, makanya lumayan sering ketemu. Sering ngobrol juga. Yang nggak disangka, ternyata Bunda kamu itu juga suka Ayah dari dulu.”
“Saat SMP itu?” Mata Denver melebar, dia berdecak kagum ketika ayahnya mengangguk pelan.
“Selesai ceritanya. Belajar sana!” Divo menepuk pundak Denver. Tubuhnya kemudian menghilang di balik pintu utama rumah. Denver memandangi langit, membayangkan pertemuan mereka. Malu-malu, tapi diam-diam saling suka.
Sesaat kemudian, Denver terkesiap oleh teriakan ayahnya di lantai bawah. Sekaligus memutus lamunannya detik itu juga. Detak jantungnya memburu, teringat pertemuan ayahnya dengan seorang wanita.
“Denver, sini. Ayah beliin sesuatu buat kamu.”
“Sebentar, Yah.” Denver bangkit dari kasurnya, melangkah mendekati cermin. “Hei, anak ganteng. Lupain dulu dugaan kamu, samperin Ayah sekarang dan makan.”
Saat sampai di meja makan, Denver duduk dengan gerakan kaku. Divo asyik menunduk, membuka plastik putih yang membungkus makanan. Aroma masakan menguar. Denver teringat kalau tempat makan tadi terlihat seperti bangunan Belanda, tidak menyangka kalau di sana terdapat makanan khas Indonesia juga.
“Ini.” Divo mengangsurkan sepiring nasi goreng kepada anaknya. Selama beberapa detik, Denver bergeming. "Tenang, ini nggak pakai pedes, kok. Ayo, di makan."
Denver akhirnya meraih sendok, melahap sesuap nasi. Rasanya enak, gurih. Bumbunya pas. Sedikit rasa pedas mungkin ditimbulkan dari lada bubuk.
“Den, kamu ... ada masalah? Kok diam aja?” tanya Divo.
“Kepikiran sesuatu.”
Kening Divo berkerut halus, Denver tahu sang ayah menunggu perkataannya. Namun, Denver mengalihkan perhatian ke arah lain. Tidak menatap Divo.
“Kamu bisa cerita sama Ayah.” Divo berkata sambil menundukkan kepalanya, melihat ekspresi di wajah Denver. "Kapan pun."
“Aku nggak jujur sama Mario soal sesuatu. Mungkin suatu saat nanti, Mario bakalan marah, Yah.” Denver menerawang, lalu mengambil jus lemon tea di kantung plastik. “Jujur. Hal paling mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan. Benar, kan, Yah?”
Divo tertegun.
***
“Nggak bener ini, Ta. Aku harus anterin Denver pulang. Kamu juga pulang, ya. Oke?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
أدب المراهقينTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...