48 | Bunga di Meja
[]
Ada yang berbeda.
Keadaan rumah saat pagi, biasanya tidak seramai ini. Denver menghentikan langkah, berdiri di tangga bagian tengah. Nyaris mencapai anak tangga terakhir, tetapi memutuskan menyimak percakapan yang terdengar di kejauhan. Mungkin dapur, mengingat ada dentingan spatula ke wajan, tutup Tupperware yang dibuka, atau suara air yang mengalir dari bak cuci piring.
“Pastiin kamu habisin sarapan yang aku masak tadi. Jangan dibuang kalau enggak suka.” Ibu tirinya memberi nasihat, seakan tak ingin ada bantahan. Disusul tawa ayah yang mengudara.
Sudah lama Denver tidak mendengar gelak tawa itu. Ayah tampak baik-baik saja. Denver kesulitan memastikan perasaannya sendiri, entah harus bahagia atau sebaliknya. Akhirnya Denver menuruni dua anak tangga sekaligus, menuju dapur. Tiba di ambang pintu, lidahnya kelu. Kalimat ‘selamat pagi’ yang akan ia ucapkan kembali tertelan. Ibu tirinya tengah meritsleting tas makan, sementara ayah duduk di balik meja dapur. Secangkir teh hangat tersedia di sana, tersisa setengah.
“Selamat pagi, Denver.” Ibu tirinya menyapa.
“Pagi … Ibu.” Denver mendadak asing dengan sebutan tadi. Kaku dan terasa bukan seperti dirinya. Mungkin juga karena ia belum terbiasa.
Untuk mengusir kecanggungan, Denver mendekati salah satu lemari yang menempel di dinding. Matanya fokus memandangi jendela kaca yang mengarah ke halaman belakang, selagi meraba permukaan lemari. Mencari-cari sesuatu. Sebungkus makanan berhasil tertangkap, Denver mengambilnya.
“Kamu biasa berangkat jam berapa, Den?”
Denver balas memandang ibunya. “Enggak tentu, Denver masih suka datang sesukanya aja.”
Ibunya mengangguk. Denver sesaat melirik ayah yang sejak tadi terdiam. Denver menghela napas. Ingin mulai menyapa, tetapi sulit. Baru hendak menjauhi dapur, suara ayahnya memecah kesunyian.
“Kamu masih ingin buka toko bunga, Denver?”
Pertanyaan itu membuat Denver berbalik. Dadanya tiba-tiba berdebar tak menentu. Setelah bergumul dengan pemikirannya sendiri, Denver menatap mata ayah. Sepasang netra hitam yang nyaris tak bisa dibedakan dengan Denver. Tak dibubuhi lipatan mata di kelopaknya.
“Kenapa Ayah tanya hal itu?” balas Denver.
Ayah mengembuskan napas yang terdengar berat, sorot matanya meredup. Selintas terlihat bayangan penyesalan.
“Ayah berniat mengizinkan ... salah satu mimpi kamu itu.”
Denver kesulitan berkata-kata. Berkali-kali memandang ayah, kemudian ibu. Sulit percaya dengan fakta itu. “Tapi kenapa tiba-tiba, Yah?”
“Enggak mendadak sama sekali, Denver. Ayah sudah pertimbangkan ini sejak terakhir kali kamu mengunjungi toko bunga.” Ayah terdiam sebentar sebelum melanjutkan. “Ayah tahu kamu terluka, selama ini Ayah bersikap egois. Hanya mementingkan diri sendiri, dibandingkan memikirkan keinginan atau harapan kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Fiksi RemajaTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...