26 | Samar

50 5 0
                                    

26 | Samar

***

Denver mengendap-endap keluar dari kamar. Sekarang pukul setengah sembilan malam, biasanya Denver sudah terbaring di kasur, bersiap-siap untuk tidur. Namun, sekitar sepuluh menit yang lalu ia merasa lapar. Tidak keluar kamar karena bisa saja Divo masih berada di ruang keluarga. Lalu saat suasana di lantai bawah hening, tidak ada suara lembaran kertas yang di bolak-balik, Denver nekat menuruni tangga.

Kakinya hendak berbelok ke sisi tangga yang lain ketika Denver mendengar suara Divo. Denver kontan mundur selangkah dengan dada yang bergemuruh.

“Iya, saya belum tidur. Kenapa?” Suara ayahnya bergema.

Lampu yang menyala hanya di bagian dapur, menyorot hingga ke ruangan keluarga. Denver mengintip sedikit, tubuh Divo membelakangi Denver. Tangan kanan ayahnya memegangi ponsel di samping telinga.

“Besok?” Kening Divo mengerut samar. Tepat ketika Divo berbalik menghadap tangga, secepat kilat Denver memundurkan tubuhnya. “Ya udah, boleh. Ketemu di tempat biasa?”

Denver terduduk di anak tangga, jauh dari penglihatan Divo. Apa yang mereka bicarakan? Janji pertemuan? Tapi dengan siapa? Denver tidak yakin, tetapi kalau bukan itu, kenapa Divo mengulas senyum sesaat setelah telepon tadi berakhir?

Teringat sesuatu, Denver melesat secara perlahan menuju ke lantai atas. Mengambil ponsel yang berada di atas tempat tidur dan kembali menuruni tangga. Berkas-berkas yang tadi berserakan di meja sudah tidak terlihat, Divo sepertinya sudah masuk ke kamar. Denver menghembuskan napas lega. Meniti tangga dengan hati-hati.

Sesampainya di dapur, Denver mengambil potongan ayam goreng beserta kulit ayam buatan Sasmi. Makanan favorit yang selalu dimasak dalam jumlah banyak. Saat makan bersama tadi, Denver hanya memakannya sedikit. Kalau tidak begitu, mungkin Divo akan menganggap tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi.

Bahaya. Tidak boleh terjadi!

Denver juga tidak tahu sampai kapan mereka akan saling bertentangan pendapat. Apalagi sejak kehadiran Franda, ayahnya mulai sibuk dengan wanita itu. Seperti tadi, Divo mungkin memang membuat janji pertemuan.

“Yo,” sapa Denver setelah panggilan tersambung. Ia duduk di kursi panjang yang terdapat di halaman belakang rumah. Bersila. Sepotong paha ayam, beserta kulit ayam yang digoreng, berada di sisinya.

Mario menguap, kemudian menjawab, “Kenapa, Den?”

“Kayaknya Papa mau ketemuan sama Tante Franda.” Denver menjawab dengan nada datar. Mengambil kulit ayam dan mengunyahnya.

“Oh, ya? Tahu dari mana?”

“Aku tadi nguping. Ayah kayak seneng gitu dapet telepon dari Tante Franda. Ayahku senyum, Yo.”

Mario bergumam. “Jadi, ini maksudnya kamu yang nggak seneng, Den?”

“Mungkin.” Denver mengambil piring dengan satu tangannya yang bebas, mengubah posisinya menjadi telentang. Mata Denver disuguhi pemandangan langit malam, tanpa bintang. “Aku masih nggak rela Ayah punya pacar.”

“Denver … aku nggak belain siapa-siapa, ya, tapi asal kamu tahu aja, perasaan suka ke seseorang itu nggak bisa kamu atur sesuka hati.”

Denver menyimpan piring tersebut di atas perut. Kemudian menjadikan lengannya sebagai penyangga kepala. Berusaha tetap tenang, meskipun sebenarnya perkataan Mario ada benarnya juga. Ia bahkan tidak mampu mengelak. Tiba-tiba wajah Zetta muncul, senyuman juga wajah juteknya yang khas. Denver tergugu lama.

“Kamu bener, Yo,” katanya kemudian.

“Den?” Mario bertanya dengan nada bingung. “Apa itu artinya kamu punya seseorang yang kamu suka?”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang