43 | Perasaan yang Terbalas
[]
“Nggak usah iba atau kasihan, aku cuma pengin bilang doang.” Denver memasang wajah datar, seakan tanpa emosi. Menatap Zetta sekilas, Denver mengembuskan napas lelah. “Lama-lama sesak juga kalau disimpan sendiri.”
Zetta merunduk. Hal utama yang membuat Denver berpikir demikian, mungkin karena sorot matanya yang nanar. Meskipun hanya selintas, Denver tidak akan mengabaikan detail kecil itu. Semakin lama, Zetta merasa Denver selalu memperhatikan ekspresinya.
Secepat kedipan mata, Zetta merapatkan jaketnya. Ia memeluk dirinya sendiri, agak menggigil begitu angin dingin bertiup halus. Bukannya Zetta tidak peduli pada perasaan cowok itu, ia hanya sedang mengikuti “alur permainan” yang Denver buat.
“Aku nggak nyangka kamu bisa cerita kayak gini,” kata Zetta, wajahnya sudah seperti biasa. Dingin.
Denver tersenyum kecil, lantas mengangkat bahu. “Ngalir gitu aja.”
“Gimana pun, tetep kuat, Denver. Aku nggak seharusnya bilang gini, sih karena selama ini kamu tetep Denver yang aku kenal.”
Cowok itu jelas terluka. Meskipun sekuat tenaga berusaha menyembunyikannya. Zetta tidak akan tertipu dengan sorot redup milik Denver. Percakapan ini memang harus segera dihentikan sekarang juga.
Langit mulai menampakkan awan gelap. Udara berubah dingin, terutama ketika angin berembus, menerbangkan dedauan pun mengayunkan berbagai macam bunga ke kanan kiri. Aroma manis menguar sampai Zetta menahan napas. Namun, terlambat. Ia sudah bersin beberapa kali.
Denver yang memperhatikannya segera menarik lengan Zetta, menuntun ia menuju kursi panjang putih. Kursi bersejarah? Haruskah Zetta memanggilnya demikian? Kursi yang dulu menjadi “mata-mata” yang mengintai pertikaian mereka ketika kali pertama bertemu. Zetta mengusap pipinya yang tiba-tiba menghangat.
“Lain kali pakai masker kek, nggak usah sok-sok mau hirup aroma bunga,” kata Denver. Cowok itu mengempaskan diri ke kursi, Zetta mendengus selagi duduk di samping Denver.
“Aku gini juga gara-gara kamu, siapa suruh ngajakin ke sini?”
Denver mengernyit. “Kamu nggak suka? Ya udah, kita pulang.”
“Sejak kapan aku suka bunga?” Zetta berdiri, ikut terpancing emosi. Sekaligus mengabaikan kalimat terakhir Denver. Suasana sendu tadi berganti seketika.
“Nggak mungkin suka, kamu ada alergi serbuk bunga.” Suara Denver memelan, nyaris tidak terdengar. Denver mengacak rambutnya yang tersapu angin. Matanya tertuju pada deretan bunga di hadapan.
Mendadak Zetta diliputi perasaan bersalah. Selain karena bunga memiliki arti yang dalam untuk cowok itu, dirinya juga turut serta memperburuk suasana hati Denver. Apalagi setelah Denver membahas soal ayahnya, tetapi alih-alih beranjak dari tempat duduknya, seperti ajakannya untuk pulang tadi, Denver malah bersedekap. Seolah ingin lebih lama berada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...