Tidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan.
Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[]
“Kamu abis makan apa? Jangan ngelantur Denver.”
“Bingung, ‘kan? Sama.” Denver meraup oksigen sebanyak mungkin. Punggungnya bersandar ke dinding kelas. Zetta melakukan hal yang sama, bedanya Zetta memandangi lapangan. Mata Denver fokus memperhatikan wajah Zetta dari samping.
“Mario yang ngajarin kamu kalimat kayak tadi?” Tanpa menoleh, Zetta bertanya.
“Nggak sama sekali. Aku cuma mikir, kita seharusnya nggak jauhan.”
“Kenapa?” Suara Zetta nyaris tidak terdengar.
Denver ikut mengamati lapangan olahraga. Sekitar empat orang anak cowok berlarian, saling memperebutkan bola basket. Matahari tidak begitu terik, sinarnya menyorot ke ubin kelas yang Zetta dan Denver tempati. Denver bergumam dan suaranya terasa tercekat, ia tidak mampu menjawab. Mungkin belum saatnya.
“Kenapa, Denver?” Zetta mendesak, tampak gemas sendiri.
“Kenapa juga aku harus marah?” tanya Zetta, nadanya berubah ketus. “Harusnya kamu yang marah. Kata-kataku kemarin bener-bener nyakitin.”
“Biasa aja, sih.” Denver bersedekap, kepalanya sekarang bersandar ke dinding kelas. Mengamati langit sejenak sebelum memejam, ia merasakan suaranya serak saat mengatakan, “Aku bingung sama perasaanku sendiri.”
“Maksudnya?” Zetta mengangat alis.
Namun, pertanyaan itu tidak terjawab. Denver sudah berderap menjauhi tubuh Zetta yang mematung. Melihat kelakuan manis Denver hari ini, tanpa sadar membentuk sebuah senyuman singkat di bibir Zetta.
Beberapa teman sekelas Zetta sudah kembali dari kantin, meraup berbagai camilan dan minuman di tangan kanan. Membeli apa Zetta hari ini? Mungkin bakso dengan dua atau tiga sendok makan. Ditambah minuman dingin berperisa jeruk kesukaan Denver.
Sebelum ke kantin, Zetta pergi ke ruang guru, mengambil ponsel yang kemarin disita.
“Jangan mainin ponsel di kelas saya lagi, mengerti?” kata Bu Nanda, tatapannya berkilat dingin. Zetta hanya mengangguk, mengatakan permintaan maaf, kemudian pamit.
Zetta melewati beberapa meja guru. Ruangan guru terlihat sepi, beberapa kursi kosong, tetapi terdapat seporsi batagor atau bakso. Perut Zetta semakin keroncongan.