11 | Siapa Dia?

90 5 27
                                    

11 | Siapa Dia?

***

Ragu.

Perasaan yang sejak tadi mengusik Denver. Matanya diam-diam mengawasi setiap pergerakan Divo, ketika ayahnya mengambil segelas air putih, kemudian memakan apel di kursi meja makan. Sampai ketika ayah berdiri kemudian memasuki kamarnya, Denver baru mengembuskan napas keras.

Ternyata tidak mudah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu kepada Divo. Denver masih butuh banyak waktu untuk menyiapkan diri setelah penolakan ayahnya. Hal sederhana seperti menyimpan sebatang bunga di pot kecil pun tidak disetujui oleh Divo, apalagi dengan keinginan Denver yang ingin kembali mendirikan toko bunga.

Denver akhirnya mengambil ponsel di saku celana selututnya. Dia sudah selesai mandi sore dan makan bersama Divo, beberapa saat lalu. Mungkin karena melihat gelagat Denver yang tidak biasa, Divo memilih tidak menanyakan apa pun, memilih diam selama makan bersama sejak kepulangannya.

“Yo,” ujar Denver sesaat setelah sambungan terhubung.

Apa, Den?

“Dih, suara kamu kok beda? Abis bangun tidur apa, ya?” tanya Denver.

Iya, ketiduran tadi.” Mario berdeham-deham, seakan ingin mengembalikan suaranya seperti semula.

“Tidur kok sore-sore, nggak baik, tahu!”

Makanya, tadi aku kira sekarang subuh.

Denver mendengkus. Mulutnya masih terkatup rapat selagi dia memikirkan sesuatu. Tentang kesepakatannya dengan Zetta, apa Denver harus bercerita kepada Mario? Kalau pun cerita, Mario pasti akan berspekulasi bahwa Denver dan Zetta sedang melalui masa pendekatan atau apa. Belum lagi telinga Denver yang akan pengang nanti, mengingat betapa antusiasnya sahabatnya itu. Setelah balasan ‘woi’ yang Mario utarakan, Denver berdiri sambil membenarkan letak kaus putih polosnya yang sedikit tersingkap.

Menatap area taman belakang rumah. Di bagian sudut paling kanan, terdapat beberapa pot bunga anggrek bulan berwarna putih, tertutupi oleh rimbunnya bunga bugenvil.

“Yo, belakangan ini aku mikirin sesuatu yang rasanya bakalan sulit aku raih.” Denver berjalan memasuki area halaman belakang, membiarkan kaki telanjangnya bersentuhan dengan rumput basah. “Tapi, aku baru ambil satu langkah dan belum berani mengambil langkah lainnya.”

Den, aku baru bangun tidur nih. Belum saatnya mikir yang berat-berat.

“Ya udah, aku tutup.” Denver menjauhkan ponselnya dari telinga, dia belum menekan tombol merah ketika akhirnya Mario berteriak dengan lantang.

Jangan!

“Aku lagi serius. Dengerin kek.” Denver bergumam, sesekali melirik pintu. Khawatir kalau-kalau Divo hadir dan mendengar percakapannya dengan Mario.

Hm, jadi kamu lagi ragu-ragu, ‘kan? Ini soal apa, Den? Soal latihan soal matematika yang tadi kamu dapat nilai enam?” Nada Mario datar, tetapi berhasil membuat Denver memejam sesaat, berusaha sabar.

“Bukan soal itu.” Denver berkata dengan cepat, tetapi dalam suara yang berupa bisikan.

Terus apa?

Aku lebih suka bunga daripada taekwondo, balas Denver dalam hati.

“Den, kenapa, sih?” Mario bertanya lagi. Namun, Denver hanya bergumam singkat dan mengucapkan salam.

Nggak sulit kalau misalnya kamu yakin dia bisa dipercaya.

Denver teringat lagi perkataannya kepada Zetta. Ternyata dia belum sepenuhnya mempercayai Mario. Mengusap wajah diselingi dengan tarikan napas yang dalam, Denver akhirnya berbalik.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang