23 | Pembelaan

48 5 0
                                    

23 | Pembelaan

***

Dia tidak mungkin lupa bagaimana punggung itu mulai menjauh. Di waktu yang bersamaan, titik-titik air hujan turun. Setiap detik yang berlalu membuat frekuensi air semakin membesar. Denver basah kuyup, tetapi tidak ada keinginan untuk berteduh.

“Mana yang harus aku percaya? Kamu pelakunya apa bukan sih, Ta?” Denver mendecih.

Mengusap wajahnya yang terus-menerus dialiri air hujan. Denver berlari menuju arah gerbang sekolah, mencari sosok Zetta di tengah guyuran hujan. Memindai sekeliling area sekolah yang nyaris sudah kosong. Seharusnya mudah bagi Denver menemukan cewek itu. Ketika melewati gerbang, Denver menangkap dua orang cewek berjalan beriringan dengan sebuah payung merah muda bercorak bunga-bunga kecil.

Runa dan Zetta.

Lagi-lagi Denver hanya mendapati punggung itu menjauh. Kenapa Zetta tidak menghampiri dan mengatakan kalau perkataannya tadi hanya lelucon? Denver memejamkan mata sesaat, teringat wajah Zetta yang tampak serius. Mencoba untuk tidak terlalu peduli, Denver berbalik untuk mengambil motor putih yang masih terparkir di sekolah. Tubuhnya sudah kepalang basah kuyup, maka Denver memutuskan untuk segera menuju rumah. Hujan-hujanan.

Pukul setengah enam tepat, Denver tiba di rumah. Di garasi yang terbuka lebar, Denver menemukan sebuah motor yang sangat dikenalinya. Denver membuka helm dan setengah berlari menuju pintu utama rumah.

“Yo, sejak kapan kamu di sini?” tanyanya begitu berhasil mendorong pintu utama.

“Sepulang sekolah tadi.” Mario menjawab santai. Dia menepuk-nepuk tas sekolah yang menggembung. “Lihat nih.”

“Mau nginep?” Denver memundurkan kepala. “Niat banget, ya.”

Mario mengangguk. “Denver udah mulai peka, ya.”

“Nggak nyambung tahu.” Denver tengah membuka sepatunya ketika Sasmi muncul dengan tergesa, di lengan Sasmi tersampir handuk putih.

“Den kok hujan-hujanan, sih? Aduh, nanti sakit gimana?” Sasmi menunjukkan raut khawatir yang membuat Denver tersenyum kecil.

“Nggak masalah kok, Bi.” Tangan Denver mengambil handuk yang Sasmi sodorkan. Menggosok-gosok rambutnya yang setengah kering. Sasmi menyuruh Denver agar segera mandi air hangat dan cepat-cepat mengganti pakaian. Denver hanya mengangguk, menuruti permintaan Sasmi. Sementara mata Mario tidak lepas mengamati interaksi mereka.

“Den, kamu deket banget sama Bi Sasmi, ya?” tanya Mario beberapa detik setelah Denver keluar dari kamar mandi. Mario duduk di konter dapur, menghabiskan kue kering dan teh hangat sembari menunggu Denver.

“Gitu, deh.” Denver menyengir. “Kenapa?”

“Nggak sih. Cuma nanya.” Mario berdiri setelah menandaskan teh hangat. “Sikap perhatian Bi Sasmi mirip banget sama Ibuku kalau lihat aku kehujanan.”

“Jangan bilang kamu ngerasa keganggu sama perhatian Ibu kamu?”

Mario meringis. “Sedikit. Kayak masih dianggap anak kecil gitu, tapi kayaknya aku harus bersyukur.”

“Jangan lihat aku kayak gitu.” Denver mendengus, terganggu karena Mario menatapnya dengan sorot sendu. “Aku nggak protes karena aku suka perhatiannya Bi Sasmi.”

“Kapan-kapan, ajak aku ketemu Bunda kamu.”

“Iya.” Denver melenggang naik ke lantai dua. Mario mengikuti dari belakang, sesaat kemudian lengan Mario melingkari bahu Denver sepanjang perjalanan menaiki tangga.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang