36 | Tak Ingin Berakhir

57 5 6
                                    

36 | Tak Ingin Berakhir

[]

Motor Denver menepi, bersamaan dengan deru mesin yang berangsur-angsur mati. Laju motornya sempat menerbangkan dedaunan kering melewati sepatu Zetta.

“Lama nggak?” tanya Denver.

Zetta mengangkat bahu. Jika waktu lima belas menit bisa dibilang sebentar, maka Zetta menjawab, “Nggak.”

Lagipula rumah Denver lumayan jauh dari sini. Selagi menunggu Denver tadi, Zetta menempati kursi di depan minimarket dan menghabiskan sebotol minuman berperisa jeruk. Botolnya sudah mendekam di tempat sampah, bisa menjadi masalah kalau seandainya Denver tahu.

“Mungkin kalau kamu datang sepuluh menit lagi, aku bakalan mikir-mikir buat spam chat.”

Denver terkekeh, suaranya tidak begitu terdengar jelas karena Denver masih betah mengenakan helm. “Telat bentar doang, Ta. Lima menit lebih lama dari sebelumnya. Aku udah di sini sekarang.”

“Jadi, mau pergi ke mana?” Zetta melirik jam lewat ponsel. Pukul 08.20 pagi.

Penampilan Denver diam-diam membuat Zetta kurang fokus sampai kehilangan kata-kata. Cowok itu mengenakan kaus putih polos dibalut jaket berwarna putih. Kakinya terasa jenjang saat mengenakan celana jin hitam alih-alih celana putih abu-abu. Seperti yang biasa terlihat saat di sekolah.

Kenapa Denver tampak semakin tampan?

“Kenapa lihat-lihat?” tutur Denver.

“Emang aku doang yang perhatiin kamu?” Zetta melirik sekitar, tampak dua orang cewek mengamati Denver selagi melewati minimarket.

Denver tidak membalas, malah berdeham.

Namun, Zetta lebih terganggu akan satu hal. Sejak Denver menjemputnya tadi, sampai Zetta sibuk dengan ponsel, Denver tidak memperhatikan sekitar lagi. Pandangannya hanya tertuju ke Zetta.

Alih-alih merasa senang, Zetta justru agak tidak nyaman. Baru menyadari kalau pakaian mereka tampak serasi. Celana jin putih beserta cardingan merah marun, Zetta menunduk. Kausnya juga putih. Benar-benar tidak direncanakan.

Selama di rumah sebelum pertemuan berdua Denver. Zetta kebingungan memilih baju, bahkan merasa tidak memiliki baju sama sekali. Padahal di lemari ada beberapa pilihan. Kalau Runa ada di sampingnya saat itu, mungkin Runa akan asal memilih baju dan menyerahkannya kepada Zetta tanpa pikir panjang.

“Ini bukannya baju, Ta? Kamu cocok pakai apa aja kok.”

Mungkin kalimat itu yang akan Runa utarakan, blak-blakan dan tepat sasaran. Mengingat Runa, ia teringat pesan yang kemarin sudah terkirim. Pesan yang tidak mendapat balasan apa pun. Hanya tanda terbaca yang Runa tinggalkan untuknya.

“Ta,” panggil Denver. Sebelum melanjutkan, Denver melepaskan genggamannya dari stang motor. Tangannya kini beralih di tempat tangki bensin dengan punggung menegak. “Kamu bawa masker, ‘kan?”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang