05 | Gengsi

128 9 10
                                    

05 | Gengsi

***

“Zetta, ih!”

Yang dipanggil akhirnya menghentikan kegiatannya. Sekitar dua menit lalu, Runa menampakkan wajah keheranan setelah perkataan Denver kepada Zetta terucap. Runa memang tidak sengaja menguping, lebih tepatnya hanya pada bagian ketika Denver mengatakan, 'Mulai baik-baiklah sama orang'. Lalu Zetta menghindari Runa, beralih dari satu bangku kosong ke bangku yang lain. Sayangnya, Runa tidak menyerah begitu saja. Maka Zetta-lah yang harus mengalah.

“Apa sih, Run?” balas Zetta. Dia kembali ke tempat duduknya, deret kedua dari depan. Runa mengikuti dan duduk di samping Zetta.

“Aku kepo,” ucap Runa. “Jadi, sebelum orangnya masuk ke kelas, kamu jelasin dulu soal di perpustakaan tadi."

“Dia nyebelin. Udah, itu doang.”

Runa menatap Zetta dengan mata menyipit, dilingkupi perasaan curiga. “Ada apa, sih, di antara kalian berdua?”

“Nggak ada apa-apa, tuh." Zetta menatap Runa lurus-lurus, berkata dengan penuh penekanan. “Menurutku, Denver itu cuma manusia yang sok tahu sejak awal ketemu.”

Runa tidak mengatakan apa pun lagi, kepalanya justru memandang lurus ke papan tulis. Seolah sedang memikirkan sesuatu. Baru ketika Zetta hendak membuka mulut sebagai reaksi atas diamnya Runa, dua orang sahabat datang beriringan dengan tawa yang menguar. Siku Mario bertumpu di bahu Denver. Sementara Denver memasang wajah tidak bersahabat.

“Masih aja kamu payah main basket,” kata Mario.

“Mau balas dendam soal kemarin itu? Lagian kenyataannya kamu emang payah kalau soal beladiri.” Denver berkelit, sehingga pegangan Mario di bahunya terlepas.

“Aku nggak minat ke sana." Mario menggeleng.

“Aku juga nggak minat basket.”

“Besok demo ekskul, 'kan? Aku bakalan bikin kamu tertarik basket.”

“Terserah, coba aja kalau bisa." Denver mendengkus, menyandarkan pinggangnya ke salah satu meja barisan pertama. “Lagian setiap orang punya minatnya atau kesukannya masing-masing kali. Kalau dipaksa, ya, bakalan percuma.”

Mario bungkam mendengarnya. Beberapa teman sekelas sudah memenuhi bangku masing-masing. Runa yang sejak tadi memperhatikan kedua cowok itu, menjentikkan jarinya sebagai pertanda setuju. Sekaligus menyembunyikan kebimbangannya sejak percakapannya dengan Zetta berakhir.

“Kali ini, aku sependapat sama Denver.” Runa memasang wajah mengejek. “Kali ini aja ....”

“Wah, aku sedikit tersanjung.” Denver menundukkan sedikit kepalanya dengan sikap hormat. “Tapi, cuma kali ini doang.”

“Dasar!” Runa memanyunkan bibirnya kesal.

Percakapan dengan nada keras itu tidak dipedulikan, Zetta kembali fokus membuka-buka buku catatannya. Suara teman-teman sekelas berbaur, menciptakan suara seperti dengungan lebah. Tidak apa, bel akan segera berdering. Zetta hanya perlu menunggu waktu sampai kelas hening. Pada saat Zetta menutup bukunya, dan mengalihkan pandangan ke depan kelas. Tatapan Denver dan Zetta bertemu. Tidak ada emosi yang tersalur. Zetta yang terlebih dahulu mengalihkan pandangan ke jendela. Menatap lapangan sekolah yang mulai lenggang.

Sebentar, kenapa mata Denver terasa lembut saat menatapnya tadi?

***

Kemarin, Denver pulang dari rumah Mario tepat pukul setengah delapan. Setelah solat isya. Divo terlelap di sofa ruang tamu ketika Denver datang. Tidak berniat membangunkan karena wajah Divo tampak kelelahan, pelipisnya dipenuhi peluh.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang