10 | Kesepakatan Berdua

75 8 8
                                    

Bab 10 |Kesepakatan Berdua

***

Seharusnya, Zetta tidak heran melihat tingkah laku Denver seharian ini.

Yang paling mengesankan, cowok itu tidak menganggu Zetta. Membiarkan Zetta fokus mendengarkan guru memberikan materi. Hanya lewat sudut mata, sesekali Zetta memergoki cowok itu menatapnya. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar, hanya mata hitam Denver yang justru memerangkap Zetta dalam bayangan pesan yang dikirimkan cowok itu semalam.

Taman. Sepulang sekolah.

“Hari ini langsung pulang, Ta?” Runa tiba-tiba berbisik.

Dalam diam, Zetta memperhatikan Runa. Cewek itu bergantian menatap jam dinding yang terdapat di depan kelas, kemudian kembali memperhatikan Siska, guru bahasa Indonesia yang tengah menunduk di mejanya, memeriksa tugas teman-teman sekelas yang bergantian menyerahkan tugas. Sementara Zetta bisa sedikit santai karena telah menyerahkan tugas paling pertama.

“Nggak,” ujar Zetta. “Aku ada urusan sebentar.”

Kedua mata Runa kontan membesar. “Ke mana? Tumben banget, Ta.”

Bel tanda berakhirnya jam belajar-mengajar terdengar, membuat Zetta mengatupkan lagi mulutnya. Perhatian semua teman sekelas terarah kepada Siska yang mengetuk-ngetukkan penghapus white board di meja, pertanda meminta perhatian anak-anak. Tubuh Siska yang tinggi itu berdiri selagi membenarkan lipatan jilbab di sekitaran pipi.

“Jangan lupa kerjakan tugasnya, pertemuan selanjutnya dikumpulkan. Oke, ya?” katanya diiringi ucapan salam.

Seluruh murid serempak menjawab dengan riuh. Zetta mengangguk, mencatat nomor halaman beserta waktu dikumpulkannya tugas di sticky note supaya dia tidak lupa. Setelah Siska ke luar kelas, Runa meraih lengan Zetta, beriringan menyusuri koridor yang disesaki murid-murid.

Kalau saja Denver ingkar janji tentang pesannya kemarin, Zetta mungkin akan segera pulang ke rumah, menyeduh teh hangat kemudian berkutat dengan tugas bahasa Indonesia yang diberikan oleh Bu Siska tadi. Sayangnya, Denver menepati janjinya. Cowok itu ternyata bisa dipercaya.

Sebelum Zetta dan Runa sampai di sisi lapangan, seseorang berjalan di samping Zetta dan membisikkan sesuatu. “Tunggu di tempat parkir, ya.”

Kemudian, Zetta berhenti melangkah, menyebabkan beberapa anak cewek di belakangnya berdecak kesal. Zetta balas menatap mereka satu per satu dengan wajah datar, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya sebagai tanda permintaan maaf. Runa mengikuti Zetta menepi di dekat pohon dengan wajah kebingungan.

“Ada apa, sih, Ta?” tanyanya.

“Orang iseng.” Zetta menjawab cepat sambil berjingkat, mencari sosok tadi di kerumunan siswa-siswi.

Namun, Zetta tidak menemukan cowok tadi. Bisa jadi juga karena Denver mengambil langkah lebar, sengaja membuat Zetta kesal. Tingkah Denver seharian tadi memancing Zetta untuk memuji, kalau boleh Zetta ingin menarik ucapannya karena Denver masih saja cowok menyebalkan.

Zetta berjalan cepat. Kakinya berayun menyusul murid-murid SMA Adiyaksa, termasuk cewek-cewek yang sempat berseteru dengannya tadi. Tidak peduli kalau akhirnya Zetta menjadi pusat perhatian. Tidak lama kemudian, Zetta sampai di lahan parkir, suara bising kendaraan roda dua saling bersahut-sahutan, di antara kepulan asap knalpot, Zetta mendapati Denver yang telah bertengger di motor putihnya.

“Kamu tuh kebiasaan ya, main ninggal-ninggalin temen!” Runa bersungut-sungut. “Ngapain lagi ke sini? Cari siapa?”

“Denver, Run. Aku cari dia.”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang