34 | Kita

50 6 0
                                    

Bab 34 | Kita

[]

Zetta berdiri di sisi gerbang, napasnya tidak beraturan. Sesak yang paling kentara.

Kepalanya menyapu ke sekitar, sekolah sudah sepenuhnya sepi. Bahkan di lapangan pun hanya ada satu dua murid. Mereka sempat menaruh minat ketika Zetta berkali-kali memotong ucapan Denver, sebelum kemudian ia meninggalkan Denver sendiri.

Memilih tidak mengamati ekspresi Denver lebih lama lagi. Sempat terlihat, Denver tercengang hingga terdiam lama.

Lagi, Zetta melukai Denver.

Beberapa tarikan napas dalam-dalam, cukup membuatnya tenang. Saat sedang menunggu angkutan kota, Zetta teringat Runa. Terutama percakapan mereka setelah bel sekolah berbunyi. Di antara suara riuh, berupa pekikan dan obrolan, Zetta dan Runa bungkam. Zetta memandangi papan tulis yang disapu oleh dua anak cowok, keras-keras mereka menghapus tinta sambil tertawa-tawa. Decitan antara papan tulis dan penghapus, membuat ngilu hingga bahu Zetta berjengit.

“Pelan-pelan. Kalian bisa matahin penghapusnya, lho.” Zetta menegur. Kedua cowok itu berhenti, mereka berpandangan satu sama lain sebelum menoleh kepada Zetta.

“Kita juga bayar uang kas kok,” balas salah satunya, terlihat tidak senang.

“Zetta,” kata Runa. “Udah biarin aja.”

Kegiatan dua cewek yang menyapu di bagian belakang kelas, sempat terhenti. Jelas mereka terganggu, akhirnya Zetta menutup mulut. Mengangguk sekali sebagai permintaan maaf.

“Aku nggak bisa nemenin kamu makan es krim, udah ada janji sama Mario,” kata Runa. Zetta hanya mengangguk, berusaha tidak mempermasalahkan hal itu. Berharap Runa tidak sedang mencari-cari alasan menghindarinya.

Lima belas menit terakhir dihabiskan Zetta dan Runa dalam keheningan, Runa asyik mengutak-atik ponsel. Zetta hanya memperhatikan lapangan sepak bola lewat jendela, kepalanya miring sedikit ketika melihat figur Denver. Cowok itu berdiri membelakangi kelas, tas yang tersampir di bahunya sedikit bergeser. Namun, Denver abai. Dari samping, Denver tampak membicarakan sesuatu, mulutnya bergerak-gerak. Zetta menarik napas berat.

“Kalian belum pulang?” tanya salah satu cewek yang piket hari ini. Salah satunya lagi berdiri menemani.

“Belum, ada yang mau kita bicarain.” Zetta menjawab dengan nada pelan. Mereka akhirnya berpamitan setelah menutup pintu kelas, hanya menciptakan sedikit celah. Tanpa menoleh, Zetta berkata, “Kamu menjauh.”

Detak jam dinding yang bergerak konstan, mengiringi pernyataan Zetta yang belum terjawab. Runa menekan tombol di pinggir ponsel, layar gelap seketika. Dia menggeser tubuh hingga bisa lebih jelas memandangi Zetta. Perlahan Zetta menoleh, mengamati kedua mata Runa yang berkilat dingin.

“Kamu memang paling peka, Ta,” katanya.

“Kenapa menjauh? Apa gara-gara aku deket sama Denver?”

Keheningan menyapa. Zetta berasumsi jawabannya adalah ‘ya’. Sesaat kemudian, Runa membuka pembicaraan.

“Kayaknya, kamu juga udah tahu, aku suka Denver. Sayangnya, kamu terlalu enggan menjauh dari Denver.” Runa mengangguk-angguk. “Dia memang sulit dijauhi. Kepribadian dan kebaikannya sulit untuk ditolak juga, termasuk untuk aku.”

Zetta menggigit pipi bagian dalam, pernyataan Runa terlalu benar. Terkadang, Denver memang menyebalkan, tetapi melihat betapa khawatirnya Denver saat Risna menyenggol tangannya, atau saat Denver bersikeras mengantar pulang Zetta, ia tahu sesuatu. Denver cowok paling peduli yang pernah Zetta kenal.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang