14 | Binar Senja di Matamu

64 5 12
                                    

14 | Binar Senja di Matamu

***

“Jangan ditanya atau masang wajah heran begitu, Den. Zetta emang suka pedes.”

"Masih kalah pedes mulutnya dia," sahut Denver. Menanggapi ucapan Runa tadi.

"Hei ...." Zetta mendesis.

“Ups, maaf. Keceplosan." Denver memundurkan kepala saat Zetta menambahkan dua sendok sambal ke mangkuk bakso milik cewek itu. Seketika kuah yang tadinya putih, berubah menjadi merah. "Ta, kamu nggak sakit perut apa, ya makan pedes sebanyak itu?”

Bagi Denver sendiri yang mana bukan penyuka pedas, mangkuk bakso milik Zetta itu sedikit membuat perutnya agak mulas. Denver jadi membayangkan satu sendok kuah mampir ke lidahnya, pasti menimbulkan panas dan matanya kontan berair. Dia berbisik.

“Jarang sakit perut sih, kecuali kalau khilaf.” Zetta mengaduk-aduk kuah bakso, mencicipi rasanya. “Kenapa? Mau coba?”

“Nggak,” kata Denver, “Makasih.”

Zetta berdecak, mengambil potongan bakso beserta kuahnya. Tanpa diduga, cewek itu menyodorkan sendok tadi kepada Denver yang segera mengelak, memundurkan kepalanya sambil bergidik. “Ta, jangan becanda. Aku nggak suka pedes.”

“Dikit kok ini.”

Denver menggeleng dengan mulut tertutup rapat. Dia bahkan sampai menggeser tubuhnya hingga tidak sengaja menyikut pelan lengan Mario. Mario tidak sempat protes, cowok itu terdiam lama diikuti Runa. Keduanya mematung. Mata mereka tertuju ke arah Denver dan Zetta. Bahkan Mario dan Runa kompak mengurungkan niat mereka melahap milik masing-masing.

Keheningan di meja itu tertangkap Denver dan Zetta, keduanya saling melirik satu sama lain.

“Kok pada diem?” sahut Denver.

“Itu … sejak kapan kalian akrab begini?” Runa yang pertama membuka suara.

Zetta melahap bakso dengan gerakan terburu-buru. “Kita nggak seakrab itu kok.”

“Bener.” Denver mengangguk.

Selama beberapa detik, Zetta terdiam. Rasanya ada sesuatu yang menikam ulu hatinya telak. Sesak. Namun, tidak berlangsung lama karena Zetta segera menggeleng, mengenyahkan pikirannya yang mulai bercabang tadi.

***

Denver masih duduk di atas motornya, sekeliling area parkir sekolah sepi dari keberadaan kendaraan roda dua para murid SMA Asanka. Sekarang pukul 16.05. Denver menurunkan pandangan, menatap sisi-sisi sepatunya yang sedikit kotor oleh lumpur. Satu helaan napas lolos, ia masih ingin menyendiri sampai perasaannya tenang.

Denver tidak yakin akan terus-menerus bersikap seolah tidak mengetahui apa pun. Padahal dia sempat melihat ayahnya dengan seorang wanita.

Tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan Divo nanti. Semalam pun ayahnya tidak menjawab pernyataannya itu.

Sejujurnya, Denver benci berpura-pura tidak tahu. Namun, dia takut jika memutuskan untuk bertanya, harapannya akan lenyap begitu saja.
Bagaimana kalau ayahnya benar-benar sudah melupakan bundanya?

“Siapa di sana?”

Pertanyaan itu membuat Denver terlonjak kaget. Tampak seorang pria berseragam satpam berdiri beberapa meter dari tempat parkir, tempat Denver berpijak. Mata pria tersebut menyipit diiringi langkahnya yang mendekat. Denver baru menyadari kalau mata Aga, satpam tadi, memang agak minus. Dia kemudian melambaikan tangannya beberapa kali.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang