16 | Ucapan

52 7 14
                                    

16 | Ucapan

***

Koridor sepi.

Denver menyusuri deretan kelas sebelas dengan langkah terburu-buru. Lewat kaca jendela, suasana di kelasnya berlangsung sunyi, mereka mendengarkan materi yang Siska berikan. Menarik napasnya yang lumayan tersenggal-senggal, Denver mengetuk pintu kelas. Samar-samar suara Siska yang tadinya terdengar, kini menghilang. Lalu ketukan hak sepatu berjalan mendekat ke tempat Denver berdiri.

“Denver,” kata Siska heran.

Denver mengucapkan salam, kemudian berucap, “Maaf, Bu. Saya telat.”

“Udah ketemu sama Bu Susan?”

“Sudah, kata beliau saya disuruh masuk aja.”

Bu Siska mengangguk-angguk, “Masuk kalau begitu. Lain kali jangan telat lagi di pelajaran saya.”

“Baik, Bu.” Denver berkata sopan kemudian melewati ambang pintu kelas. Terdengar sedikit kegaduhan teman-temannya yang baru melihat Denver lagi.

“Denver, jarang-jarang telat, deh,” celetuk salah satu teman cowok di kursi belakang. Denver mengabaikannya, tetapi diam-diam mengibaskan poni yang sedikit basah oleh keringat. Begitu duduk di samping Mario, Denver mendapat sikutan di perutnya pelan.

“Kamu bikin khawatir tahu!” desis Mario.

“Masa?” sahut Denver iseng. Begitu memperhatikan Siska lagi, Denver mendapati Siska meneliti wajahnya dengan saksama.

“Pipi kamu kotor, bukan habis berantem, ‘kan?”

Denver terkesiap. Perhatian semua murid kini teralih kepada Denver, menatap dengan pandangan menelisik seperti yang Siska lakukan tadi. Cowok kemudian menoleh kepada Mario sambil mengangkat alis, berbisik dengan pelan, “Ada yang aneh?”

“Pipi kiri, ada bekas tanah basah, Den.”

“Oh.” Denver menatap wajah Siska lagi. “Saya nggak berantem, Bu.”

“Terus kenapa?” tanya Siska tenang.

“Habis ketemu Bunda saya, mungkin tangan saya nggak sengaja ngusap pipi, terus kena tanah pekuburan.”

“Den.” Mario memberi jeda, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar lagi. Begitu pula Siska, raut wajahnya meredup, kemudian guru bahasa Indonesia itu menunduk sambil menerawang.

Kelas hening, mereka akhirnya tahu kalau Denver tidak memiliki seorang ibu. Denver tidak bermaksud mengambil simpati agar mereka kasihan. Apa yang dikatakannya tadi murni karena Denver ingin berkata terus terang kepada Siska, supaya gurunya itu tidak salah paham.

“Denver nggak pernah berantem kok, Bu. Yah, mulutnya emang kadang ngeselin tapi dia nggak suka pake otot. Kalau pun emosi ya, biasa aja.” Runa mengulas senyum saat Denver melihat ke arahnya.

“Runa, diem. Nggak usah sok belain aku gitu dong.” Denver mendengus. Perhatiannya kemudian teralih kepada Zetta, matanya mengerjap kemudian Zetta mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Apa sih lihat-lihat,” sahut Zetta ketus. “Maaf Bu, bisa kita lanjutin pelajarannya?”

Bu Siska mengambil napas, interaksi mereka tidak urung membuat perasaannya lebih baik. Dia sempat iba kepada Denver, tetapi Denver sepertinya tidak suka diberi tatapan kasihan. Maka, saat Zetta mengalihkan perhatian teman-temannya lagi, Siska mengetuk papan tulis.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang