25 | Bayang Rindu

48 6 1
                                    

25 | Bayang Rindu

***

“Seseorang bisa menjadi jauh lebih berharga, ketika dia tidak lagi tertangkap mata.”

“Ngomong apa, sih, Yo?” sahut Denver.

“Lagi baca, elah.” Mario menyengir. Mendapati wajah kesal Denver. “Apa? Kesindir, ya?”

“Nggak tuh,” sahutnya.

Denver berhenti membaca. Jam kosong rencananya akan dihabiskan Denver dan Mario di perpustakaan alih-alih di kantin. Bukan berarti mereka tengah rajin membaca, justru karena Mario tidak mengizinkan Denver ke kantin. Mario bilang, kantin bukan tempat yang aman. Denver paham hal itu. Mario mungkin khawatir Denver akan diserang anak-anak sekolahan gara-gara tuduhan Risna.

Bukan tuduhan tentunya, itu jelas kenyataan. Denver sangat menyukai bunga, bisa diartikan melebihi kesukaan cewek-cewek yang sama-sama menyukai bunga. Mereka menyukai bunga, bisa saja karena sang pacar memberikan bunga atau apa.

Denver mengamati buku yang terbuka di meja. Berada di antara rengkuhan lengannya. Di sana tercetak kumpulan bunga-bunga, beserta spesifikasinya masing-masing. Denver membutuhkan informasi tentang bunga-bunga apa saja yang bisa mulai dia tanam nanti, alih-alih memikirkan penilaian orang tentangnya. Uang tabungan yang terisi sejak dia kelas sepuluh, rasanya cukup untuk membeli beberapa bunga. Anggrek bulan atau mawar merah.

Tunggu … mawar merah?

Denver mengibaskan-ngibaskan tangan. Menggeleng cepat. “Nggak dulu.”

“Apanya yang nggak?” tanya Mario keheranan.

“Bukan apa-apa. Kamu fokus baca aja sana!” Denver duduk denagn posisi setengah membelakangi Mario. Mencegah Mario mengganggu lagi. “Eh, Yo.”

Mario bergumam pelan, “Apa?”

“Itu buku tentang apa?”

“Kumpulan quotes gitu kayaknya.” Mario menunjukkan sampul buku tersebut kepada Denver. Didominasi warna putih dengan sentuhan merah muda. “Jadi, nggak usah heran kalau nanti calon pacarku makin suka cowok tinggi ini.”

Denver menghela napas lelah. “Males dengernya.”

Mario kontan tergelak. Sadar keduanya tengah diperhatikan penjaga perpustakaan, keduanya mematung sesaat. Wanita itu melesatkan tatapan tajam. Walaupun sempat menciut, akhirnya Mario dan Denver mengangguk sambil berujar, “Maaf, Bu.”

Mario dan Denver memberi kode lewat tatapan mata. Menyimpan kembali buku yang mereka pinjam ke tempat semula, keduanya pun melesat ke luar perpustakaan.

“Gimana, Den? Masih mikir-mikir mau minta maaf ke Zetta?”

Denver mengangkat bahu. “Nggak tahu.”

“Ish.” Mario menjitak kening Denver pelan. “Inisiatif sendiri dong jadi cowok.”

“Apa, sih? Kenapa jadi kamu yang repot.”

“Gini Den, kalian kan emang sering berantem, tapi nggak pernah sampe seserius ini. Lihat kalian jauhan ... apa, ya? Beda aja rasanya.”

Denver menghela napas. Berbeda? Sebenarnya memang itu yang Denver rasakan sejak Denver dan Zetta berjauhan. Mario betul-betul mengerti keadaan Denver. Sayangnya, Denver bingung ketika di hadapkan kepada dua pilihan. Satu, memilih menjauh dari cewek itu, entah sampai kapan. Kedua, meminta maaf, yang mana Denver harus menurunkan sedikit egonya. Ia belum menemukan jawabannya.

Di belokan tangga, Denver melihat Zetta menunduk dengan buku di tangan. Mungkin cewek itu hendak mengembalikan buku. Masih belum menyadari kehadiran Denver pula. Saat Denver berdiri sejajar dengan Zetta, tetapi dalam arah yang berlawanan, Mario berdeham keras. Zetta menoleh ke sekitar. Denver mengutuk Mario dalam hati.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang