20 | Rumor?
***
"Maksud chat-ku tadi?" Mario mengusap-usap dagunya. Berpikir. "Tapi, masa kamu nggak tahu sih?"
Denver memalingkan wajah ke arah lain, kesal. Sejak pesan Mario masuk ke ponselnya, Denver memikirkan dua orang sekaligus. Pertama, Zetta Kirania, cewek yang baru-baru ini dia kenal, tetapi kebersamaan mereka jauh lebih banyak dibandingkan saat dengan Runa. Kedua, Runa, teman sekelasnya sejak kelas sepuluh. Lama berpikir, Denver tidak menemukan jawaban kenapa dia harus memperhatikan cewek yang dekat dengannya itu.
"Mario, dengerin aku, ya." Denver mengambil napas kemudian mengembuskanya secara berlebihan. Mengalihkan perhatian dari white board ke arah Mario. "Untuk seseorang yang nggak pernah pacaran sama cewek sejak ... lahir, apa aku harus dengerin kamu?"
"Iya dong," ujar Mario. Dia bersedekap dengan sikap sok serius. "Kamu tahu aku punya banyak mantan. Artinya aku pasti bisa ngertiin cewek."
"Jangan ngeledek dong." Denver menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Nggak. Itu tadi kenyataan, Den."
"Yo." Denver mendelik. Mario sendiri hanya mengangkat alis sambil mengulum senyum.
Jam kosong membuat kelas sedikit gaduh. Ada sebagian murid yang memilih pergi ke perpustakaan termasuk Zetta, sisanya berada di kelas. Denver melirik bangku yang biasanya di duduki cewek itu, kosong. Di samping bangku itu, Runa menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan. Punggungnya naik turun secara konstan. Akhir-akhir ini, kebersamaan kedua cewek itu sedikit berkurang. Yang paling aneh, Runa pun menjaga jarak dengan Denver.
Setelah bosan mengamati, Denver berdiri dengan satu tangan memasuki saku celana abu-abu. Melewati deretan bangku hingga sampai di sisi kursi milik Runa. Denver duduk di bangku Zetta diiringi dehaman pelan, mencoba menarik perhatian Runa.
"Apa?" tanya Runa tanpa berminat menoleh.
"Suntuk, ya? Biasanya kamu gangguin Zetta."
"Lagi nggak pengin ngomong sama kamu, Den." Runa akhirnya mengangkat kepala. Ekspresinya sendu, tetapi Denver tetap bergeming. Mengamati coretan tipe-x di meja yang sedikit memudar. "Ngapain ke sini coba?"
"Santai Run, galak banget kamu." Denver menjawab dengan suara pelan.
Sesaat Runa menggigit bibir, tampak gamang. "Zetta ada di perpus, samperin aja."
Denver mengangguk-angguk. "Bentar lagi aku ke sana."
"Kenapa nggak sekarang?"
"Runa ngeselin deh," kata Denver kesal. "Mau aku beliin makanan? Biar ilang keselnya."
"Roti isi keju." Runa mengangkat alis. Lalu kembali menelungkupkan kepalanya.
"Oke." Denver menggeser sedikit meja. Sehingga membuat Runa berdecak pelan. Tidak memedulikan omelan Runa, Denver melenggang ke luar kelas. Mario mungkin mendengar percakapan mereka tadi. Makanya cowok itu menyuruh Denver membeli minuman di kantin.
"Beli sendiri, Yo," ujar Denver.
"Nitip ih, Denver. Kan kamu baik."
Denver menatap Mario dengan pandangan jijik. "Aku bakal beliin, tapi harus ada imbalannya dong."
"Apa itu?" Mario mengangkat alis.
***
Zetta berdiri di rak yang berisi deretan novel. Menyentuh beberapa sampul buku yang tersusun rapi, mengamati judul-judul yang tersemat di sampul buku. Namun, tidak ada yang menarik perhatiannya. Sebagian besar sudah dia baca secara berulang-ulang. SMA Asanka belum memasukkan buku-buku terbaru ke perpustakaannya. Saat Zetta hendak melangkah, dia kontan terdiam.
Denver pernah menolongnya mengambilkan buku, tepat di tempatnya berdiri saat ini. Jantung Zetta bergemuruh, dia mengatur napasnya. Berharap bayangan Denver segera menguap. Zetta tentu tidak bisa menampik kalau cowok itu memang menarik, wajahnya enak dipandang. Ada kesan cuek, tetapi Denver sebenarnya peduli terhadap seseorang.
Itu alasan kenapa Denver pernah menolongnya.
"Denver?"
Suara bercampur kaget dan bingung itu membuat Zetta menoleh ke samping kanan, dia melangkah perlahan supaya tidak ketahuan menguping. Di sisi rak buku, Zetta bersembunyi, kepalanya melongok dan mendapati dua orang siswi saling berhadapan-hadapan.
"Yang namanya Denver di sekolah ini cuma satu. Ya, Denver yang itu," balas cewek bermata sipit dan putih.
"Aku belum percaya sih. Masih yakin kalau itu cuma gosip. Lihat sendiri, Denver kan jago taekwondo!" desis cewek satunya, memakai jam tangan hijau.
"Makanya, aku tadi tahu karena temen sekelas pada heboh ngomongin dia. Bilang Denver cupu segala lagi. Parah banget."
Zetta mengangkat satu buku, lalu mengempaskannya ke tempat semula. Wajahnya datar. Saat kedua cewek itu menoleh, Zetta mengangkat alis. Kebetulan petugas UKS yang biasanya berjaga tengah tidak ada di kursinya. Sehingga Zetta tidak perlu khawatir kalau dia membuat sedikit kegaduhan. Denver yang dibicarakan, tetapi rasanya kepala Zetta yang mendidih.
"Tau kan ini perpus, nggak baik ngomong di sini sampe suaranya kedengaran kayak gitu," kata Zetta pelan. "Ganggu orang."
"Zetta!" Denver melambai di pintu perpustakaan. Kedua cewek tadi saling tatap, kemudian memilih bergegas dan melewati tubuh Denver yang menjulang itu.
"Berisik," kata Zetta.
"Bu Linda lagi nggak ada juga."
Zetta meringis pelan sebelum menjawab, "Ngapain ke sini?"
Denver tidak menjawab. Matanya fokus menatap Zetta dengan intens. Yang ditatap, memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, lewat sudut mata, Denver masih memandangnya dalam diam. Di tengah keheningan, Zetta menendang pelan sepatu milik Denver.
"Sakit, Zetta." Denver mengerang.
"Lebay," balas Zetta. Cewek itu cepat-cepat menuju pintu perpustakaan.
Tingkah Denver tadi membuat Zetta sedikit salah tingkah, entah mendapat keberanian dari mana sehingga dia menendang sepatu milik Denver. Kalau tidak begitu, mungkin Denver tidak akan berkedip dan Zetta merasa ada sesuatu yang salah di wajahnya.
Zetta menyandarkan punggungnya di balkon lantai dua gedung sekolah. Menghadap ruangan perpustakaan. Sementara Denver berdiri di sampingnya."Hari ini rasanya aneh banget," ujar Denver.
Zetta mengerjap. "Aneh?"
"Lupain aja."
"Denver, ngomong yang jelas dong." Zetta mencibir. "Kenapa?"
Dagu Denver mengedik ke arah tangga yang mengarah ke lantai bawah. Ada tiga orang cewek yang berjalan ke arah mereka. Percakapan yang tadinya terdengar riuh, kini menghilang ketika mereka berpapasan dengan Denver. Cowok itu menyapa sambil tersenyum, lalu menoleh kepada Zetta saat bisik-bisik mulai terdengar di kejauhan. Pelakunya masih ketiga cewek tadi.
"Yang tadi contohnya." Denver menepuk-nepuk kedua pipinya. "Ada yang salah di wajahku, Ta?"
"Hah? Eh ... nggak!" Zetta menggeleng cepat.
"Mereka lihatinnya gitu banget."
Zetta mengembuskan napas. Mendadak kehilangan kata-kata. Tadi Zetta sempat mendengar percakapan ketiga cewek itu. Yang paling terdengar jelas adalah kata 'bunga'. Itu artinya, apa mereka tahu kalau Denver menyukai bunga? Zetta sampai khawatir kalau Denver turut mendengarnya. Teringat bahwa Denver merahasiakan kesukaannya kepada bunga, kecuali Zetta. Kalau sampai tersebar, orang pertama yang pantas Denver salahkan, tentu saja dirinya.
"Denver," kata Zetta. Keringat dingin memenuhi telapak tangannya. "Mulai saat ini, jangan dengerin perkataan orang yang mungkin buat kamu sakit hati. Tutup kuping, please."
"Apa aku harus nurutin kata-kata kamu?"
Suara Zetta sedikit meninggi saat mengatakan, "Aku serius, Denver!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...