09 | Ajakan Kencan?

72 9 6
                                    

Bab 9 | Ajakan Kencan?

***

Seperti hari-hari sebelumnya, makan malam selalu berlangsung sunyi.

Tidak ada yang membuka suara sebelum makanan tandas di piring masing-masing. Hal ini mengingatkan Zetta pada satu hal, dia bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Zetta bertemu teman Stella dan Adam, mama dan papanya, di pertemuan makan malam nanti. Pasti membosankan, kecuali kalau teman orang tuanya pandai memosisikan diri atau orang tersebut pandai mencairkan suasana.

Adam tiba-tiba berdeham, kepalanya memindai piring-piring di meja makan yang telah kosong, beserta gelas minuman yang isinya tinggal setengah. Zetta menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tahu kalau ada sesuatu yang hendak Adam sampaikan kepada anggota keluarganya.

“Zetta,” panggil Adam.

Yang dipanggil menatapnya dengan pandangan bingung. Adam tidak langsung menjawab, dia menyugar rambutnya yang dipangkas rapi. Kemeja lengan pendek berwarna biru tampak pas di tubuh Adam yang memiliki pundak tegap.

“Kenapa, Pa?” tanya Zetta.

Stella memandang Adam kemudian menarik kursinya agar mendekat dengan meja, membuat jaraknya dengan Zetta hanya terhalang meja makan. “Ta, Mama mau kamu datang ke acara makan malam sama Tante Franda, lusa nanti.”

“Aku mau belajar, Ma. Sibuk.”

Stella mengambil napas, matanya yang berbentuk bulat dengan kelopak dilapisi eye liner tipis itu berkilat dingin. Zetta tidak bermaksud membuat Stella kesal, itu hanya satu dari sekian alasan yang dia utarakan setelah banyaknya waktu Stella habiskan di kantor, alih-alih menemani Zetta di sela-sela waktu luangnya di rumah. Namun, Stella tidak menyadari itu.

“Kata Bi Ana, kalau pulang sekolah, kamu langsung ke kamar. Mama nggak masalah kalau kamu belajar terus, tapi sesekali ajaklah temen kamu main ke rumah, belajar bareng. Kamu harus bersosialisasi Zetta,” balas Stella.

“Ma—“ Ucapan Zetta terpotong karena Stella kembali membuka mulutnya.

“Mama ngajak kamu makan malam supaya kamu kenal teman Mama, kamu bisa belajar banyak dari beliau. Sekaligus buktiin ke Mama kalau kamu bisa bergaul sama orang, udah cukup kamu menutup diri.”

Tepat ketika Zetta akan merespons, Edgar menyela, “Zetta punya teman kok, Ma. Mungkin kapan-kapan Zetta bakalan ngenalin ke Mama sama Papa. Jadi, nggak usah khawatir.”

Zetta terdiam. Ada banyak rentetan kata yang ingin dia keluarkan, tetapi kerongkongan Zetta terasa sesak, menimbulkan kalimatnya tertelan tanpa permisi. Beruntungnya, ada Edgar yang mencairkan suasana, meskipun rahang kakaknya itu terasa kaku, persis seperti menahan emosi. Mengingatkan Zetta ketika Edgar berhadap-hadapan dengan Denver di dekat sekolah tadi.

Berbeda dengan Stella meninggalkan dapur tanpa melirik Zetta, Adam justru mengusap surai Zetta lembut. Punggungnya yang terasa tidak terjangkau itu kemudian menghilang. Jantung Zetta masih berdebar tidak karuan, diam-diam berusaha agar lapisan bening yang kini membayangi kelopak matanya, tidak melesak keluar.

“Mama sama Papa udah nggak ada di sini, Ta.” Edgar menatap Zetta lurus. “Kalau mau nangis, ya nangis aja.”

Tidak menanggapi, Zetta justru beranjak menuju kulkas yang berada tidak jauh dari meja makan, mengisi gelasnya dengan air dingin. Tidak peduli kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Bi Ana datang dan sempat menyapa Zetta dan Edgar sebelum kemudian membereskan piring-piring kotor, lalu mencucinya. Selama itu pula, Zetta memberikan tatapan kepada Edgar supaya tidak pergi dari dapur.
Ada sesuatu yang akan Zetta tanyakan kepada kakaknya nanti, walaupun perbincangan tadi mengganggu pikirannya, Zetta jauh lebih terganggu dengan kejadian saat pulang sekolah. Terutama saat tangan Edgar mengepal juga tatapan tajamnya kepada Denver.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang