28 | Titik Temu
***
“Benci?” gumam Denver. "Itu maksud kamu, Ta?"
Zetta yang tadinya akan melewati tubuh tinggi Denver seketika mengurungkan rencananya itu. Apa yang barusan ia dengar sempat membuatnya terkejut.
"Siapa yang bilang aku benci kamu?" tanya Denver lagi.
Kaku. Zetta mendongak, memberanikan diri mengamati wajah Denver. Kalau benar cowok ini tidak membencinya, Zetta ingin berteman lagi dengan Denver. Namun, keinginannya terlalu berlebihan. Ia sadar pengakuannya dulu mungkin membuat Denver terluka.
Tiba-tiba Runa berdeham. “Kayaknya kalian perlu bicara. Kalau gitu, aku duluan, Ta.” Runa mengusap punggung Zetta, berpamitan. Runa menatap Denver dan berkata, “Tolong, anterin Zetta pulang, ya, Den?”
Denver tidak menjawab.
“Hati-hati, ya, Run,” balas Zetta.
“Pasti. Kamu juga!” Runa melambai dan pergi menjauhi area sekolah.
Bukannya Zetta tidak tahu ada yang tidak beres dari sahabatnya itu. Zetta tahu bagaimana perasaan Runa kepada Denver. Perasaan yang cewek itu simpan sendirian. Runa merahasiakannya. Dari gerak-geriknya atau dari cara Runa memandang Denver. Wajah Runa yang berseri-seri saat Denver tertangkap netranya. Semuanya tidak luput dari perhatiannya. Zetta tahu, kedekatannya dengan Denver membuat Runa terluka. Yang ia tidak tahu adalah alasan kenapa Runa menutupinya rapat-rapat.
Suara benda yang berderit menghapus bayangan Zetta. Cewek itu menoleh dan mendapati Denver sudah duduk di kursi panjang, satu tangannya menelusup ke saku jaket. Pandangannya terarah ke depan. Zetta memutuskan duduk di samping Denver, berjarak sekitar tiga jengkal.
“Aku tanya, siapa yang bilang aku benci kamu?” Denver memecah keheningan.
“Kamu tanya ke rumput tetangga pun, dia bakalan setuju kalau kamu marah!”
Denver berdecih. “Rumput mana bisa jawab.”
“Aku cuma ngebayangin.” Zetta menoleh sekilas ke samping dan melihat Denver mengulas senyuman singkat. Cepat-cepat Zetta menunduk, pura-pura sibuk mengamati sepatunya yang sedikit berlumpur.
“Kita lagi di dunia nyata,” ujar Denver. “Ngayal mulu.”
“Nggak usah ngeselin.” Zetta menatap Denver dengan tatapan tajam.
“Udah tahu.”
Zetta menendang pelan sepatu milik Denver hingga cowok itu berjengit. Zetta balas mengangkat alis, setengah menantang. Tanpa diduga sebelumnya, Denver mengusap kepala Zetta beberapa kali. Jantung milik Zetta berdentum tidak keruan. Aroma parfum milik Denver menguar seiring dengan titik-titik air hujan yang mulai membasahi atap. Berdenting dengan berisik, seketika Denver menarik tangannya dari kepala Zetta.
“Sorry ….” Denver bergumam.
Zetta berdesis, “Iseng banget, sih!”
“Nggak iseng. Itu tadi beneran refleks.”
Pengakuan cowok itu lagi-lagi membuat Zetta salah tingkah, jari-jari tangannya tidak berhenti mengetuk-ngetuk pinggiran kursi kayu yang ia duduki. Selain Edgar, tidak ada lagi cowok yang berani mengusap kepalanya selembut itu. Edgar selalu bilang, dia memang terkadang gemas dengan tingkah Zetta dan tidak bisa menahan diri untuk tidak mengusap pucuk kepalanya.
Lalu bagaimana dengan Denver? Apa alasan cowok itu melakukannya?
Zetta tentu tidak melupakan renggangnya hubungan mereka berdua akhir-akhir ini. Namun, berdua Denver, di tengah hujan yang turun, Zetta bisa melupakan pengakuannya yang mungkin membuat Denver sakit hati. Berbincang selayaknya mereka berdua tidak pernah bertengkar hebat. Percakapan beberapa saat lalu, mengingatkan Zetta kalau dirinya dan Denver sering mempermasalahkan hal-hal kecil. Persis kebiasaan mereka dulu, sekarang seakan tidak ada jarak yang tak kasat mata lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/199147081-288-k148200.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Teen FictionTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...