19 | Diam-Diam Suka

50 6 3
                                    

19 | Diam-Diam Suka

***

“Masa, sih, Denver ….” Zetta menelungkupkan kepalanya dalam lipatan lengan, di atas meja belajar. Tidak melanjutkan perkatannya.

Jarum jam berdetak konstan. Memecah kesunyian di kamar Zetta yang sudah nyaris gelap. Pencahayaan hanya dari lampu belajar. Jujur dia tidak bisa fokus belajar, pikirannya terpecah. Denver dan taekwondo, apa itu hanya kamuflase dari kesukaannya pada bunga?

“Lagian setiap orang punya minatnya atau kesukannya masing-masing kali. Kalau dipaksa, ya, bakalan percuma.”

Perkataan Denver saat itu tiba-tiba mencuat ke permukaan. Membuat Zetta sadar kalau ucapan Denver memang benar. Namun, Zetta tidak bisa menampik kalau dia terkejut. Penasaran dengan alasan cowok itu menyukai bunga dan mengapa Denver menutupinya. Zetta duduk dengan tegap. Bukan urusannya. Dia bukan siapa-siapa bagi cowok itu. Denver berkata sejujur itu semata-mata karena perjanjian mereka berdua.

Perjanjian.

Dia bahkan melupakannya. Denver dan Zetta tidak membahas tentang perjanjian itu dan memilih pulang. Suasana menjadi canggung sepenuhnya.

Zetta: Denver, kamu beneran suka bunga?

Denver: Aneh, ya? Tapi, itu kenyataan

Zetta: Kamu menghindar saat itu … apa karena kesukaan kamu yang ini?

Denver: Pinter. Sayangnya, aku nggak akan cerita sekarang

Zetta: Cerita aja

Denver: Belajar sana

Membaca balasan pesan itu, Zetta mendecih. “Aku nggak bisa fokus tahu! Gara-gara kamu.”

Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk beberapa kali. Seseorang mendorong pintu hingga terbuka. “Zetta, boleh ngomong sebentar?”

Yang ditanya terdiam lama. Tidak berminat membicarakan apa pun dengan kakaknya. Apalagi setelah larangan Edgar yang memintanya untuk menjauhi Denver.

“Ya udah kalau nggak bisa.” Edgar mengetuk-ngetuk kenop pintu dengan jari telunjuknya. Masih berdiri di ambang pintu. “Selamat belajar.”

***

Zetta duduk di salah satu kursi bus yang kosong. Dekat dengan jendela, memandangi jalanan yang masih lenggang. Dia memang sengaja pergi ke sekolah jauh lebih pagi daripada biasanya. Tidak tanggung-tanggung, pukul enam kurang lima belas menit. Dia pun telah mengirim Runa pesan mengenai jam berapa dia berangkat.

Runa: Gila, Ta. Jam segitu aku masih makan

Zetta: Ya udah, aku tungguin kok

Runa: Tumben? Ada apa di rumah?

Zetta: Lagi menghindari seseorang

Sahabatnya itu tidak membalas, membiarkan pesan Zetta hanya terbaca. Mungkin Runa tengah bersiap-siap. Zetta ingat, Denver pun tengah menghindari sesuatu. Cowok itu tidak mengatakan sedang menghindari apa, tetapi tidak ada hubungannya dengan tujuan awal rencana mereka. Pada akhirnya, Zetta mempercayai cowok itu dan memilih tidak bertanya.

Lagi pula, kalau dipikir-pikir, Denver mempunyai privasi yang mana harus Zetta pahami. Toh, kali ini pun Zetta tengah menghindari Edgar dan Denver tidak boleh tahu. Apalagi sampai mengetahui Edgar yang berencana menjauhkan Denver darinya.

Tiba di depan rumah Runa, Zetta cepat-cepat menyebrangi jalan. Gerbang rumah cewek itu masih terkunci rapat, digembok. Zetta mengirimi Runa pesan singkat, mengatakan kalau dia sudah tiba di depan rumah. Runa harus sampai dalam waktu kurang dari lima menit. Zetta tersenyum sekilas, membayangkan bagaimana kalang kabutnya Runa di dalam rumah.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang