17 | Haruskah Menjauh?

52 5 4
                                    

17 | Haruskah Menjauh?

***

Mau dibaca berapa kali pun, isi pesan yang terkirim saat jam istirahat pertama tadi akan tetap sama. Zetta sudah membalas pesan itu, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban. Setengah kesal, Zetta mengetikkan sesuatu di ponselnya yang segera dia kirim detik itu juga.

Zetta: Bisa jemput aku, Kak?

Tatapan Zetta tidak beralih dari layar ponsel ketika seseorang menepuk pundaknya dari arah belakang. Zetta terperanjat kemudian segera menoleh.

“Runa!” kata Zetta. “Apaan sih.”

“Kenapa, sih? Kaget banget perasaan.” Runa mengerutkan kening.

“Nggak kok, nggak apa-apa.” Zetta menyapu pandangan ke gedung sekolah. Masih dipadati para murid SMA Asanka. Namun, seseorang yang dia cari di antara kerumunan orang itu, tidak ditemukan keberadaannya. Merasa kegerahan, Zetta mengibas-ngibas tangannya di sekitar leher.

“Cari siapa?” tanya Runa. “Denver, ya? Oh, dia mah lagi ekskul taekwondo.”

“Apaan, aku nggak nanyain dia kok.”

Mata Runa seketika menyipit, seperti mencari celah kebohongan. Ditatap seperti itu, Zetta memalingkan muka. Bunyi notifikasi pesan di ponselnya membuat Zetta bersyukur, dia bisa bebas dari tuduhan Runa itu.

“Allahu akbar, ini dari operator!”

Runa tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Zetta dengan prihatin. “Main ke rumahku dulu yuk, Ta? Aku masakin mi instan sama telur setengah mateng. Mantep nggak tuh?”

“Boleh.”

Sebenarnya, Zetta tidak tenang selama perjalanan ke rumah Runa. Khawatir kalau kakaknya tiba-tiba muncul di depan gerbang SMK Asanka dan bertemu Denver. Pesannya pun tidak dibalas. Zetta seharusnya menunggu di sekolah sebelum Edgar menjemput, menjadi ‘pagar pembatas’ supaya mereka tidak perlu bertemu. Pertemuan terakhir kali Edgar dan Denver memancing hawa tidak nyaman, ada aura permusuhan.

Edgar tidak menyukai Denver. Itu masalahnya. Yang paling Zetta khawatirkan, Denver pun tidak tinggal diam jika merasa terancam. Kalau dibiarkan, mereka bisa saling melukai satu sama lain.

“Runa,” katanya. Sebelum melanjutkan ucapannya, Zetta melompati polisi tidur dengan sekali entakan. Lalu menatap sahabatnya. “Kata kamu, Denver jarang berantem?”

Runa mengangguk. “Bukan jarang lagi, nggak pernah malah.”

“Kalau kepepet, dia pasti berantem, ‘kan? Yah, namanya juga cowok.”

“Mungkin, nggak tahu juga.” Bisingnya suara kendaraan di sisi kanan memungkinkan suara Runa tidak terdengar jelas. Maka Runa segera merangkul pundak Zetta sambil terus menyusuri jalan. Runa berbisik, “Kenapa emangnya?”

“Penasaran.” Zetta menjawab cepat. “Udah deh, nggak usah mikir aneh-aneh. Aku sama Denver cuma temen, Runa. Salah emangnya nanya begitu?”

Runa meringis. Lalu rautnya berubah terkejut. “Bagusnya, kamu sama Denver udah saling mengakui sebagai temen.”

“Terserah.” Zetta berjalan lebih cepat, hingga rangkulan Runa terlepas. Tenggorokannya terasa kering, apalagi jika harus menjawab pertanyaan Runa yang menuduhnya macam-macam, seolah seperti ia dan Denver memang saling menyukai atau apa. Pemikiran Runa terlalu jauh.

Area depan rumah Runa tertangkap matanya. Tembok yang menghubungkan pagar depan rumah berwarna biru muda. Mencolok. Bayangan saat mi instan mampir ke tenggorokannya lenyap, Zetta menghentikan langkah dengan kening berkerut. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah mobil yang begitu dia kenali terparkir di seberang. Dengen gerakan cepat, Zetta berlari. Runa mengekor di belakang sambil berseru memanggil namanya.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang