06 | Teman?
***
“Gengsi kok dipelihara ....”
Denver tidak dapat berkata-kata sejak kalimat itu mampir ke telinganya. Sejak lima menit yang lalu, Denver mengatakan keinginannya untuk meminta maaf kepada Divo. Mengobrol lewat telepon dengan Mario. Namun, Mario sama sekali tidak memberinya solusi yang memuaskan.
“Bingung,” sahut Denver. Dia menjepit ponselnya di antara daun telinga dan bahu selagi menyemprotkan parfum di sekitar lipatan tangan bagian dalam.
“Tinggal bilang maaf. Kelar urusan,” sahut Mario.
“Gampang, menurut orang yang nggak lagi di posisi aku.” Denver mencebik. “Ini pertama kalinya aku bikin masalah sama Ayah tahu!”
“Bagusnya kamu mengakui kesalahan kamu. Duh, coba samperin Ayah kamu dulu, deh. Baru pikirin cara buat minta maaf yang tepat.”
Denver bergumam sebagai respons, cowok itu menyimpan buku-buku dari tasnya ke meja belajar. Mengganti buku-buku tersebut dengan jadwal pelajaran hari ini. Walaupun tahu kegiatan demo ektrakulikuler akan diadakan. Kemungkinan juga hanya ada beberapa guru yang masuk, selebihnya Denver akan berada di lapangan bersama semua murid SMA Asanka.
“Denver, tunggu bentar,” sahut Mario sebelum Denver mematikan sambungan ponsel. Denver menunggu cowok itu untuk melanjutkan ucapannya. “Cek Instagram coba.”
“Ada apaan? Penting?”
“Iya. Cek aja!” Mario lalu mematikan telepon secara sepihak.
Kening Denver berkerut samar ketika jemarinya mulai menekan icon Instagram. Beberapa notifikasi tanda love muncul. Dari sekian puluh notifikasi yang masuk, hanya ada satu username yang menarik perhatiannya.
“Zetta kasih love ke fotoku ... artinya dia abis nge-stalk akunku dong?" Denver menggeleng takjub. “Bener-bener nggak ketebak dia.”
Ketukan sebanyak dua kali terdengar. Denver mengalihkan pandangan ke arah pintu seiring dengan bongkahan kayu berwarna putih itu terbuka. Divo tampak berdiri di sana, lalu mengamati kamar Denver yang telah rapi. Jantung Denver terasa melonjak turun, lalu bergemuruh. Teringat dia yang menghindari ayahnya kemarin.
“Den, makan dulu, yuk? Nanti telat ke sekolahnya lagi,” ujar sang ayah.
“I-iya, Yah." Denver berbalik dan buru-buru menyandang tasnya ke bahu. Lalu mengikuti langkah Divo menuruni tangga.
Denver memiringkan kepala dengan wajah bertanya-tanya. Sikap Divo terasa wajar, seolah perdebatan kemarin tidak terjadi. Satu per satu deretan adegan yang nanti akan Denver mainkan lenyap. Pertama kali Denver menghubungi Mario, dia sudah memikirkan cara bagaimana seharusnya bersikap setelah kesalahannya kemarin, seperti memotong buah apel untuk Divo, atau mengelap kaca mobil sebelum nantinya Divo berangkat bekerja sebagai bentuk rasa bersalahnya.
“Yah, hari ini ada demo ekskul di sekolah. Nah, ekskul taekwondo juga masuk. Minta doanya supaya lancar.” Denver membuka suara, berkata sebiasa mungkin.
Divo mengoleskan selai kacang ke roti tawar terlebih dahulu, sebelum kemudian duduk di seberang Denver.
“Pasti Ayah doain. Semangat!" Divo mengepalkan kelima jarinya ke atas yang seketika membuat Denver terkekeh.
Diam-diam Denver melirik Sasmi yang tengah menyapu di dekat konter dapur, Sasmi tersenyum dengan ekspresi terpana yang kentara. Seolah ikut merasakan kegirangan Denver. Sesaat kemudian, Denver pamit ke sekolah, mencium tangan Divo juga Sasmi. Lalu menempelkan sticky note di kulkas sebelum melajukan motornya di jalanan Bandung.
Berisikan kata 'maaf'.

KAMU SEDANG MEMBACA
Denver [End]
Ficção AdolescenteTidak seperti cowok kebanyakan, Denver menyukai bunga. Bukan sekadar suka, Denver pun menaruh harapan dan rindu yang tak tersampaikan. Zetta, cewek yang awalnya membenci Denver, berbalik melindungi cowok itu. Zetta tidak bisa tinggal diam saat seant...