02 | Sekelas

303 22 29
                                    

02 | Sekelas

***

Kehadiran Denver mencurigakan. Tiba-tiba berdiri di sisi Zetta seolah-olah mereka memang saling mengenal sebelumnya.

Kalau ini salah satu rencana agar Zetta berterima kasih kepada cowok itu, Denver berhasil. Namun, Zetta mengurungkan keinginannya untuk berkata-kata, semacam, ‘gara-gara kamu, dia pergi. Jadi, makasih’.

Mobil hitam itu meninggalkan kesan sesak di hatinya. Menciptakan ruang bagi Zetta untuk kembali mengingat hari kemarin. Hari yang terlupakan begitu saja di rumahnya sendiri. Kehadiran cowok bertopi tadi tanpa sadar semakin membuat keadaan memburuk.

“Ngomong dong. Apa kek,” ujar Denver.

Zetta tidak menjawab, kakinya semakin melangkah cepat. Kalau ditanya secara terus-menerus, bisa-bisa matanya memanas dan mengeluarkan cairan bening dari kelopak mata. Lalu Denver akan melihat sisi terapuhnya itu.

“Zetta, Denver!”

Seseorang berteriak dan melambaikan tangan dari kejauhan. Napasnya tersengal-sengal, keringat pun meluncur dari pelipis. Dengan tenaga yang masih tersisa, Runa melangkah menghampiri Zetta dan Denver.

“Kamu lari dari rumah ke sini? Ngapain?” tanya Zetta bingung.

Runa mendelik. Kemudian tangannya mencubit lengan Zetta pelan. “Kamu pikir aja, Ta. Tiba-tiba kamu nggak mampir dulu ke rumahku, nggak nge-chat apa pun sebelumnya kalau nggak bisa mampir. Jadi, kenapa aku lari sampe keringatan kayak gini?”

“Pada ngomongin apa, sih? Banyak kode, ya, kalau cewek?” Denver berdecak pelan. Tanpa ingin berlama-lama berdiri di antara mereka, Denver hendak melangkah. Namun, Runa merentangkan tangan, menahan kepergiannya. “Apa?”

“Kamu belum jawab ucapanku tadi,” bisik Runa.

Denver memiringkan kepalanya, bingung. “Yang mana?”

“Perkataan terakhirku waktu di telepon itu. Kamu juga main tutup aja.” Runa memasang wajah masam, apalagi saat Denver mengernyit, pertanda cowok itu belum juga mengingatnya. Runa menghela napas lelah. “Lupain aja.”

Tidak mau membuang waktu untuk pergi ke kelas, Denver pergi dari hadapan Runa dan Zetta. Sesaat Zetta menangkap mata Denver yang tertuju kepadanya. Pandangan yang sulit diartikan, tetapi yang paling kentara justru tatapan mengamati seolah memastikan kalau dia baik-baik saja. Zetta menggeleng pelan, mengenyahkan pemikirannya barusan.

“Dasar cowok nggak peka.” Runa menggerutu.

“Dia emang begitu, ya?” tanya Zetta. “Nggak mau mikirin hal yang nggak penting menurut dia.”

“Iya, Denver emang gitu. Nggak pernah berubah.” Runa mengangguk-angguk. Tiba-tiba Runa meringis saat kakinya kirinya hendak melangkah. Kontan Zetta menunduk, memperhatikan lutut Runa yang tertutup plester.

“Runa, kamu jatuh? Ini luka, 'kan?” tanyanya khawatir. “Di mana? Jangan bilang pas mau ke sini.”

Alih-alih menjawab, Runa justru terkekeh. Zetta terdiam sesaat. "Kenapa?"

"Lucu aja lihat reaksi kamu. Nggak kayak biasanya." Runa kemudian berkata dengan serius. "Ini cuma luka kecil, kok. Udah diobatin juga, Ta.”

Zetta mencebik, antara kesal, tetapi juga cemas. “Ceroboh banget. Lain kali hati-hati, Run.”

Yang ditanya mengangguk antusias, kemudian menangkup pipi sahabatnya dengan kedua tangan. Menelisik. “Kamu sendiri nggak apa-apa, 'kan?”

“Aku nggak apa-apa tuh,” kata Zetta pelan. “Udahlah, nggak usah lebay.”

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang